Cari Blog Ini

Sabtu, 09 April 2016

POSISI MATAHARI DALAM PERHITUNGAN WAKTU SALAT

        Matahari merupakan satu-satunya benda langit yang dijadikan sebagai patokan dalam penentuan waktu salat, hal ini didapatkan berdasarkanpemahaman ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Rasulullah Saw. Dalam menjelaskan waktu salat.[1]Di masa awal, umat Islam menerjemahkan perjalanan Matahari untuk penentuan waktu salat dengan cara melihat langsung (ruyah) kepada Matahari atau bayangan yang dihasilkannya. Jadwal waktu salat yang ada selama ini di masjid-mesjid sepenuhnya berpedoman pada metode hisab, yaitu menghitung posisi Matahari saat mewujudkan tanda-tanda masuk waktu salat. Metode ini menggunakan pendekatan ilmu trigonometri bola dalam menerjemahkan perjalanan Matahari untuk dijadikan pedoman penentuan waktu salat. Metode ini juga sudah digunakan diseluruh dunia di mana umat Islam berada.

Agus Mustofa menjelaskan bahwa, hampir semua negara yang telah ia kunjungi, umat Islam dalam mengerjakan salat menggunakan jam digital untuk penanda waktu salat. Ini menandai bahwa umat Islam tidak lagi berpedoman langsung pada melihat Matahari dalam mengawali masuk waktu salat. Itulah era modern di mana kita hidup sekarang, kriteria-kriteria yang bersifat alamiah banyak yang sudah dikonversi menjadi sistem dan alat bantu yang teknologis. Tanpa itu, manusia bakal kesulitan dalam menandai waktu, karena setiap saat harus melihat ke langit untuk menentukan jam berapa saat itu, sementara kondisi cuaca langit selalu berubah-ubah tidak menentu. Maka, adalah sebuah alasan yang sangat logis ketika manusia sekarang lebih suka menggunakan dan mempercayai jam digital daripada mempercayai matanya untuk melihat perubahan kondisi alam.[2]
            Kehadiran jam digital dalam kehidupan ini memang sangat memudahkan umat Islam dalam menandai awal-akhir waktu salat. Namun perlu digarisbawahi bahwa hasil dari suatu perhitungan terhadap waktu salat yang dipedomani berdasarkan jam, haruslah sesuai dengan kondisi alam di mana umat Islam itu berada. Hal ini sangat penting, karena mengingat kehadiran ilmu falak dalam perhitungan waktu salat hanya untuk kemudahan umat dalam mengetahui masuk waktu salat. Ilmu falak bukan dalil syar’i yang harus ditelan mentah-mentah dari apa yang dihasilkannya, ia harus sejalan dengan hasil Alquran dan hadis. Untuk menjaga kesesuaian antara hasil perhitungan awal waktu salat dengan Alquran dan hadis, menurut penulis, penting untuk diketahui bagaimana ilmu falak menerjemahkan perjalanan Matahari dalam menentukan waktu salat dan data apa saja yang diperlukan oleh ilmu falak dalam menentukan posisi Matahari dalam perhitungan awal waktu salat. Pertanyaan ini muncul karena selama ini metode perhitungan waktu salat di Indonesia masih beragam sebagaimana tergambar dalam bab dua.

A. Peredaran Semu Matahari
            Menurut teori heliosentris bahwa Matahari merupakan pusat peredaran benda-benda langit dalam tata surya ini. Oleh karena itu, dalam penentuan waktu di suatu tempat dalam jagat raya ini perlu diketahui peredaran Matahari, baik peredaran semu maupun peredaran sebenarnya.[3] Perjalanan harian Matahari yang terbit dari Timur dan terbenam di Barat itu bukanlah gerak Matahari yang sebenarnya, melainkan disebabkan oleh perputaran Bumi pada sumbunya selama sehari semalam, sehingga perjalanan Matahari dari arah Timur ke Barat disebut perjalanan semu Matahari.[4] Untuk memudahkan dalam memahami tentang perjalanan semu Matahari, bisa  diilustrasikan ketika seseorang berada dalam sebuah mobil yang melaju dalam kecepatan tinggi dari arah Barat ke Timur, maka orang yang berada dalam mobil tersebut akan melihat benda-benda di sepanjang jalan seperti rumah, ruko dan pepohonan seolah-olah melaju cepat dari arah Timur ke Barat. Pergerakan rumah, ruko, dan pepohonan inilah yang dinamai dengan gerak semu.
            Dalam penentuan awal waktu salat, data gerak semu Matahari sangat diperlukan karena Alquran dan hadis dalam menjelaskan awal waktu salat berdasarkan bias cahaya Matahari yang bisa diamati di permukaan Bumi, perbedaan bias cahaya Matahari dalam sehari semalam disebabkan juga oleh peredaran semu Matahari. Gerak semu Matahari terjadi akibat dari dua gerakan Bumi dalam mengelilingi Matahari yaitu gerak harian dan gerak tahunan. Untuk mengetahui perhitungan waktu salat, harus diketahui hakikat (gerakan yang sebenarnya) dari gerakan semu Matahari.
            1. Rotasi Bumi
            Rotasi Bumi adalah perputaran Bumi pada porosnya dari arah Barat ke Timur dengan kecepatan rata-rata 108 ribu km perjam dan satu kali putaran penuh membutuhkan waktu rata-rata 24 jam dengan jarak tempuh setiap 1 jam mencapai 15 derajat busur atau 4 menit untuk setiap 1 derajat busur, gerak inilah yang dinamakan dengan gerak harian. Akibat dari rotasi Bumi ini antara lain terjadinya perbedaan waktu antara satu tempat dengan tempat yang lain dan terjadinya siang malam di permukaan Bumi, dimana permukaan Bumi yang menghadap ke Matahari adalah siang, sedangkan permukaan Bumi yang membelakanginya adalah malam.[5]
            Arah rotasi Bumi dari Barat ke Timur mengakibatkan tempat-tempat di Bumi belahan Timur akan mengalami waktu duluan ketimbang tempat-tempat di sebelah Baratnya dan terlihatnya seluruh benda-benda langit seperti Matahari, Bulan dan bintang-bintang bergerak melaju dari arah Timur ke Barat sejajar dengan equator. Dalam kaitannya dengan perhitungan awal waktu salat, gerak harian (rotasi Bumi) sangat diperlukan. Dengan diketahuinya sistem rotasi Bumi, maka perhitungan waktu salat bisa diselesaikan dengan mudah karena kapan posisi Matahari tergelincir di atasmeridian langit, terbenam dan terbit Matahari yang merupakan tanda bagi masuk dan berakhir waktu salat seluruhnya disebabkan oleh gerak harian Bumi atau rotasi Bumi.
2. Revolusi Bumi
Revolusi Bumi adalah peredaran Bumi mengelilingi Matahari dari arah Barat ke Timur dengan kecepatan sekitar 30 km per detik dan satu kali putaran penuh 360 derajat memerlukan waktu 365,2425 hari, sehingga gerak Bumi ini disebut gerak tahunan. Jangka waktu revolusi Bumi dijadikan dasar dalam perhitungan tahun dalam penaggalan Masehi.[6]
Dengan adanya kemiringan ekliptika 23 derajat 27 menit busur terhadap equator mengakibatkan adanya deklinasi Matahari dengan nilainya yang berbeda-beda dalam setiap hari. Ketika Matahari berada tepat di equator pada tanggal 21 Maret, maka harga deklinasi adalah 0 derajat. Berangsur kemudian, Bumi berjalan ke arah Timur sehingga Matahari di setiap terbit seolah-olah bergeser ke utara dalam setiap hari sebesar ½ piringan Matahari sampai mencapai titik paling Utara pada tanggal 21 Juni, pada hari ini dinamai dengan titik balik Utara dengan nilai deklinasi Matahari terbesar positif 23 derajat 27 menit busur. Setelah itu Matahari berangsur-ansur kembali menuju equator tepat pada tanggal 23 September Matahari kembali pada posisi garis equator dengan nilai deklinasi kembali kepada 0 derajat. Setelah itu Matahari bergerak ke arah Selatan, tepat pada tanggal 22 Desember Matahari sudah berada pada titik paling Selatan dan dikenal pula dengan titik balik Selatan dengan nilai deklinasi negatif 23 derajat 27 menit busur.Kemudian Matahari kembali ke titik garis equator langit tepat kembali pada tanggal 21 Maret, semua peristiwa ini diakibatkan oleh adanya revolusi Bumi.[7]
Dengan adanya revolusi Bumi dan kemiringan ekliptika, maka terjadilah perubahan dan pembahagian musim di permukaan Bumi dan penyelamatan atau terjaga jumlah penyimpanan air di Bumi dan adanya perubahan nilai deklinasi Matahari dan inilah yang menyebabkan waktu salat lima waktu selalu terjadi perubahan dari hari ke hari dalam satu tahun. Dalam perhitungan awal waktu salat, nilai deklinasi Matahari sangat menentukan keakuratan hasil perhitungan waktu salat untuk satu daerah di hari tertentu karena mengingat nilai deklinasi Matahari berbeda dalam setiap hari sampai setahun dan mengakibatkan setiap tempat untuk setiap hari berbeda panjang bayang suatu benda saat Matahari mencapai titik zenith tergantung besar kecil nilai lintang suatu tempat.

B. Bangunan Teori Trigonometri Bola
            Metode penyelesaian rumus perhitungan waktu salat yang ada selama ini tidak terlepas dari teori trigonometri bola yang sudah lazim digunakan untuk menentukan jadwal salat lima waktu. Oleh karena itu penjelasan berikut ini menjadi sangat penting karena menyangkut dengan ruh perhitungan waktu salat dalam teori trigonometri bola, yaitu definisi trigonometri bola, teori dasar trigonometri bola dan teori trigonometri bola dalam perhitungan waktu salat.
1. Definisi teori trigonometri bola
Selama ini soal-soal yang ada dalam ilmu falak biasanya diselesaikan dengan bantuan teori trigonometri bola.Teori ini banyak digunakan untuk perhitungan penentuan awal bulan Hijriah, waktu salat, gerhana Matahari dan Bulan, dan perhitungan lainnya.Secara etimologi, kata trigonometri berasal dari bahasa Yunani “trigonometria”.Kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu “trigonon” yang berarti segitiga atau tiga sudut dan “metro” yang berarti mengukur.Istilah trigonometri ini dikenal sebagai sebuah cabang ilmu matematika yang membahas tentang sudut segitiga dan fungsi trigonometri seperti sinus, cosinus dan tangen. Sedangkan bola didefinisikan sebagai permukaan di mana semua titik berjarak sama dari sebuah titik pusat.[8]
Secara terminologi, trigonometri bola didefinisikan sebagai ilmu ukur sudut bidang datar yang diaplikasikan pada permukaan yang berbentuk bola. Oleh karena itu, ilmu ini sangat penting untuk perhitungan ilmu astronomi dan ilmu falak, karena ilmu ini sangat kompleks, bisa digunakan untuk perhitungan pengukuran permukaan Bumi, orbit benda langit, posisi benda langit seperti Matahari, Bumi, Bulan dan sebagainya untuk kepentingan penentuan arah dan waktu di permukaan Bumi.[9]
2. Teori dasar trigonometri bola
Teori trigonometri bola sangat erat kaitannya dengan geometri bola, karena berkaitan dangan segitiga pada bola dan hubungan antara sisi dan sudut. Sebuah bola didefinisikan sebagai permukaan, di mana semua titik berjarak sama dari sebuah titik pusat.Apabila tiga buah lingkaran besar pada permukaan sebuah bola saling berpotong-potongan, terjadilah sebuah segitiga bola.Ketiga titik potong merupakan titik sudut A, B, dan C, besar sudut segitiga itu dinamakan sudut A, B, dan C, semua sisinya dinamakan a, b, dan c, yaitu sisi yang berhadapan dengan sudut A, B, dan C.[10]
Ilmu ukur segitiga bola, mempersoalkan hubungan-hubungan di antara unsur-unsur dalam segitiga bola. Hukum yang terpenting dalam ilmu ukur segitiga bola adalah hukum cosinus dengan rumus: cos a = cos b cos c + sin b sin cos A, dan hukum sinus dengan rumus: sin a / sin A = sin b /sin B = sin c / sin C.[11]
Untuk lebih jelas bisa dilihat pada gambar:

Gambar 1.Bentuk Trigonometri Bola.
Sinus (sin). A              = a/b
Cosinus (cos). a           = c/b
Tangent (tg). A           = a/c
Cotangent (cotg). A    = 1/tg.A
Cosecant (coses). A    = 1/sin.A
Secan (sec). A             = 1/cos.A
            Dua hukum inilah yang selalu ditemukan dan tidak dapat dihindari dalam perhitungan awal waktu salat, dimulai dari mencari nilai deklinasi Matahari, sudut waktu Matahari dan nilai tinggi Matahari.
3. Teori trigonometri bola dalam perhitungan waktu salat
Untuk perhitungan waktu salat digunakan teori trigonometri bola langit atau segi tiga bola langit, yaitu segi tiga bola yang bertitik sudut pada zenith, kutub Utara langit dan benda langit yang sedang diamati.Sisinya tetap tiga yaitu bagian meridian langit setempat yang menghubung titik zenith dengan kutub Utara langit, lingkaran vertikal yang menghubungkan titik zenith dengan benda langit yang dimaksud, dan lingkaran waktu di antara kutub Utara langit dan benda langit.[12]
Tinggi kutub langit di suatu tempat sama dengan nilai lintang di suatu tempat, bila seseorang berada pada garis equator Bumi, maka nilai tinggi kutub langit adalah 90 derajat, dan seterusnya nilai tinggi kutub langit tergantung nilai lintang suatu tempat. Sebagai contoh, kota Lhokseumawe dengan nilai lintang 5 derajat sebelah Utara, maka bisa dipastikan nilai tinggi kutub langit untuk kota Lhokseumawe adalah 5 derajat juga.[13] Dikarenakan nilai tinggi kutub langitsama dengan nilai lintang suatu tempat, dalam perhitungan waktu salat nilai titik sudut kutub Utara langit langsung digantikan dengan nilai lintang suatu tempat.
Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa dalam segitiga bola langit terdapat lima unsur penting yang harus diketahui yaitu lintang tempat, deklinasi benda langit, tinggi benda langit, sudut waktu setempat dan azimuth. Jika tiga unsur di antaranya telah diketahui, maka dua unsur lainnya dapat diketahui dengan mempergunakan rumus ilmu ukur segitiga bola langit. Dalam perhitungan awal waktu salat, lima data ini sangat penting, karena dari lima data inilah waktu salat dapat ditentukan untuk suatu wilayah.
C. Data dalam Perhitungan Waktu Salat
            Dalam perhitungan waktu salat, mengetahui data yang digunakan dalam penyelesaian rumus sangatlah penting,karena  menjadi jantung dalam perhitungan waktu salat, dalam artian kebenaran hasil perhitungan waktu salat sangat tergantung keakuratan dari data yang digunakan. Oleh karena itu penulis merasa penting untuk membahas data yang diperlukan untuk menyelesaikan rumus penentuan waktu salat.

            1. Lintang dan Bujur tempat
            Dalam setiap perhitungan waktu salat, lintang dan bujur tempat sangat penting karena hasil perhitungan tidak akan sesuai dengan suatu daerah bila lintang dan bujur tidak sesuai. Jadi apa itu lintang dan bujur tempat dan apa kegunaannya dalam perhitungan waktu salat?
            Lintang tempat yang biasanya disimbolkan dengan fi (φ) adalah jarak garis khayali yang diukur dari garis khatulistiwa ke suatu tempat sampai ke kutub.Bila daerah berada sebelah utara garis khatulistiwa dinamakan Lintang Utara (LU) yang bernilai positif (+), sedangkan daerah yang ada di belahan selatan garis katulistiwa dinamakan dengan Lintang Selatan (LS) yang bernilai negatif (-).[14] Sebagai contoh, Lhokseumawe +05° 10ʹ 48,36ʺ dan kota Semarang -07ᵒ 00ʹ. Dari dua daerah ini dapat dipastikan bahwa kota Lhokseumawe berada di belahan Utara garis khatulistiwa dengan jarak 5 derajat 10 menit 48,36 detik,dan kota Semarang berada di belahan Selatan garis katulistiwa dengan nilai 7 derajat 00 menit.Penetapan garis khatulistiwa sebagai garis lintang 0 tidak dipolitisi oleh pihak manapun, dimana penetapan ini terjadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan tentang Bumi yang dimiliki oleh manusia. Untuk memudahkan, lihatlah gambar berikut.

            Gambar 2.Lintang Tempat pada Permukaan Bumi.
KU = Kutub Utara
KS = Kutub Selatan
LU = Lintang Utara
LS = Lintang Selatan
0   = garis khatulistiwa
            Garis lintang dalam gambar di atas dapat dilihat dari sejumlah garis yang ada tanda panah dari angka 0 sampai lambang (+) yang merupakan Lintang Utara dan sampai lambang (-) yang merupakan Lintang Selatan.
            Bujur tempat yang biasanya disimbolkan dengan lamda (λ) adalah garis khayali yang diukur dari jarak suatu tempat mulai dari kota Greenwich di Inggris yang dijadikan sebagai garis bujur 0° sampai dengan bujur 180° sebelah Timur atau 180° sebelah Barat. Daerah yang berada di sebelah Timur kota Greenwich nilai bujurnya minus (-) dan dinamai dengan Bujur Timur (BT). Sedangkan daerah yang berada sebelah Barat kota Greenwich nilai bujurnya positif (+) dan dinamai dengan Bujur Barat (BB). Daerah perjumpaan antara Bujur Timur dengan Bujur Barat dijadikan sebagai batasan Garis Tanggal Internasional (GTI) yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan International Date Line,di mana garis ini tepat melintas di tengah-tengan Samudera Pasifik.[15]

            Gambar 3.Bujur Tempat pada Permukaan Bumi.
KU = Kutub Utara
KS = Kutub Selatan
BT = Bujur Timur
BB = Bujur Barat
KU 0 KS = garis bujur 0 yang melintasi kota Greenwich
180 = pertemuan ujung Bujur Barat dengan Bujur Timur
T = Timur
B = Barat
            Dalam sejarahnya, terdapat banyak usulan terkait letak garis bujur 0, misalnya garis meridian Greenwech, Paris, Warsawa, ataupun Washinton. Namun, komfrensi meridian internasional di Washinton yang diselenggarakan pada bulan Oktober 1884 M atas undangan presiden Chester A. Arthur dengan dihadiri oleh 25 negara telah menyepakati garis bujur 0 adalah garis meridian Greenwich, yakni garis yang melintasi kompleks observatorium kerajaan Inggris di Greenwich, dengan pertimbangan 70% armada pelayaran saat itu telah menggunakan Greenwich sebagai acuan.[16] Peran utama garis bujur adalah sebagai panduan pedoman waktu, dengan garis bujur 0° yang berada tepat di Greenwich sebagai patokan waktu universal. Belahan Bumi di sebelah Barat garis bujur 0° sampai garis bujur 180° waktu lokalnya senantiasa lebih lambat dibandingkan dengan waktu universal. Sebaliknya, belahan Bumi di sebelah Timur garis bujur 0° sampai 180° waktu lokalnya selalu mendahului waktu universal.
Akibat dari periode rotasi rata-rata Bumi adalah 24 jam sehingga idealnya seluruh permukaan Bumi terbagi ke dalam 24 zona waktu, 12 zona waktu di sebelah Barat dan 12 zona waktu di sebelah Timur, dengan jarak antara satu zona waktu dengan zona waktu lainnya yang berdampingan adalah 15° dengan selisih waktu 1 jam. Namun, sebagai akibat dari tidak lurusnya garis batas penanggalan internasional yang diakibatkan oleh politik dalam pembagian wilayah di daerah bujur 180°, sejak tahun 1995 M, di Bumi terdapat 26 zona waktu dengan rincian 12 zona waktu di kawasan Bujur Barat dan 14 zona waktu di kawasan Bujur Timur.[17]
Di akhir-akhir ini ada yang mengusulkan pergantian garis bujur nol dari kota Greenwich ke kota Mekah dengan patokan Kakbah sebagai garis bujur nol. Di Indonesia usulan ini disampaikan oleh Bambang Eko Budhiyono dalam bukunya berjudul Ka’bah Universal Time yang disingkat KUT. Gagasan ini mendapatkan tanggapan yang beragam dari pembaca, ada yang mengapresiasi dari gagasan ini, ada juga yang menganggap perbuatan yang sia-sia, karena selama ini tidak ada masalah dengan waktu GMT (Greenwich Mean Time). Dalam hal ini tokoh ilmu falak dari Muhammadiyah,Syamsul Anwar juga ikut ambil bagian dalam mengomentari gagasan tersebut yang dituangkan dalam salah satu bab bukunya yang diberi judulKa’bah Universal Time Solusi atau Masalah?. Menurut Syamsul Anwar membuat garis batas tanggal yang melintasi pusat kakbah yang berada di tengah-tengah kota Mekah yang padat penduduk lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya bahkan dapat menimbulkan bidah. Masjidil Haram dan rumuh-rumah penduduk akan terbelah dan akan mengalami hari yang berbeda.[18]
Praktek pembagian waktu salat bisa diamati bersama pada jadwal waktu salat yang ada di setiap masjid,selama ini patokan waktu yang digunakan adalah pembahagian zona waktu GMT, seperti untuk zona Waktu Indonesia Barat (WIB) +07 jam dari waktu Greenwich Maen Time (GMT). Dalam pendistribusian jadwal waktu salat selama ini hanya mengikuti kaedah pembagian waktu GMT berdasarkan kaedah bujur, waktu salat dihitung berdasarkan patokan satu titik daerah tertentu dengan mengambil data bujur dan lintang, kemudian hasilnya diberlakukan untuk wilayah sekitarnya dengan mengambil kaedah pembagian waktu GMT, yaitu dikurangi untuk wilayah Timur titik pengukuran dan ditambah untuk wilayah Barat titik pengukuran. Sebagai contoh bisa dilihat pada perhitungan penulis pada bab dua, dimana penulis mengambil titik perhitungan adalah masjid Islamic Center Kota Lhokseumawe. Bila hasil ini ingin diterapkan untuk wilayah lain, maka untuk wilayah yang sebelah Timur masjid Islamic Center harus dikurangi dan yang sebelah Barat harus ditambahkan dari hasil perhitungan dengan kadar 1 menit waktu untuk setiap 27 km. Bila dilihat dari segi pembagian waktu, metode ini sudah bagus, tetapi bila dikaitkan dengan waktu salat, masih ada tanda tanya terhadap keakuratannya, karena waktu salat bisa dipastikan juga ada pengaruhnya nilai lintang, karena waktu salat ditentukan berdasarkan titik zenith, sudut waktu dan kutub Utara langit.  
2. Sudut waktu Matahari
Sudut waktu Matahari adalah jarak busur sepanjang lingkaran harian Matahari dihitung dari titik kulminasi atas sampai Matahari berada.[19] Nilai sudut waktu Matahari adalah 0 derajat ketika Matahari berkulminasi atas, atau ketika Matahari tepat pada garis meridian langit, dan 180 derajat ketika Matahari berada di titik kulminasi bawah. Nilai sudut waktu Matahari bertanda positif (+) ketika Matahariberada di belahan Barat dan bernilai negatif (-) di saat Matahari berada di sebelah Timur. Sudut waktu Matahari terbentuk pada satu sudut 90 derajat di kutub Utara langit atau kutub Selatan langit yang diapit oleh garis meridian dan lingkaran deklinasi yang melewati Matahari. Setiap lingkaran waktu membentuk sudut dengan lingkaran meridian langit, sudut waktu ini terlihat pada kutub langit. Nilai sudut waktu Matahari ini dapat dihitung dengan rumus:
Cos tₒ = -tan φ tan δₒ + san hₒ : cos φ : cos δₒ
tₒ          = sudut waktu Matahari
φ          = Lintang Tempat
δₒ         = deklinasi Matahari
hₒ         = tinggi Matahari pada awal waktu salat.[20]
Nilai sudut waktu Matahari ini kemudian dijadikan patokan waktu di Bumi dengan memindahkan dari nilai busur ke nilai waktu, sistem pembahagiannya adalah sebagai berikut:
360 derajat      = 24 jam
15 derajat        = 1 jam
1 derajat          = 4 menit waktu
15 menit          = 1 menit waktu
1 menit            = 4 detik waktu.[21]
Waktu di Bumi dibagi berdasarkan nilai sudut waktu Matahari dengan berpedoman pada pembagian bujur di Bumi. Garis bujur waktu di Bumi dimulai pada garis bujur istimewa yaitu bujur 0 derajat yang melintasi kota Greenwich di Inggris, waktu di bujur 0 biasanya diistilahkan dengan GMT (Greenwich Mean Time). Setiap 15 derajat bujur ditetapkan satu zona waktu dengan selisih waktu satu jam. Agar sesuai waktu untuk masing-masing wilayah, maka sebelah Barat Greenwich dikurangi satu jam untuk satu zona waktu dariwaktu Greenwich dan ditambah satu jam untuk satu zona waktu di sebelah Timur Greenwich. Untuk wilayah Indonesia, berdasarkan Keputusan Presiden RI (Soeharto) Nomor 41 Tahun 1987 tanggal 26 November 1987 untuk selanjutnya mencabut Keputusan Presiden (Soekarno) Nomor 243 tahun 1963, waktu daerah atau daerah kesatuan waktu dibagi menjadi 3 wilayah yaitu Waktu Indonesia Barat (WIB), Waktu Indonesia Tengah (WITA), dan Waktu Indonesia Timur (WIT).
a.       Waktu Indonesia Barat (WIB) yang berpedoman pada 105 derjat Bujur Timur (BT) atau GMT + 7 Jam, meliputi:
1.      Seluruh propinsi daerah tingkat I Sumatra.
2.      Seluruh propinsi daerah tingkat I Jawa dan Madura
3.      Propinsi daerah tingkat I Kalimantan Barat
4.      Propinsi daerah tingkat I Kalimantan Tengah
b.      Waktu Indonesia Tengah (WITA) yang berpedoman pada 120 derjat Bujur Timur (BT) atau GMT + 8 Jam, meliputi:
1.      Propinsi daerah tingkat I Kalimantan Timur
2.      Propinsi daerah tingkat I Kalimantan Selatan
3.      Propinsi daerah tingkat I Bali
4.      Propinsi daerah tingkat I Nusa Tenggara Barat
5.      Propinsi daerah tingkat I Nusa Tenggara Timur
6.      Propinsi daerah tingkat I Timor Timur
7.      Propinsi daerah tingkat I sulawesi
c.       Waktu Indonesia Timur (WIT) yang berpedoman pada 135 derjat Bujur Timur (BT) atau GMT + 9 jam, meliputi:
1.      Propinsi daerah tingkat I Maluku
2.      Propinsi daerah tingkat I Irian Jaya.[22]
Dalam perhitungan waktu salat, agar waktu salat sesuai dengan wilayah yang dimaksud, maka harus ada penyesuaian waktu antara waktu daerah dengan waktu setempat yang biasanya diistilahkan dengan koreksi waktu daerah (Kwd) dengan rumus: (λw –λd) : 15.Sebagai contoh, kota Lhokseumawe = (105° - 97° 08ʹ 30,33ʺ) = 7° 51ʹ 29,67ʺ = 7° 51ʹ 29,67ʺ : 15 = 00.31.25,98. Jadi selisih waktu daerah dengan waktu setempat yaitu 00 jam 31 menit 25,98 detik.
Para ahli falak sepakat bahwa awal waktu salat ditentukan berdasarkan sudut waktu Matahari dengan gabungan nilai tinggi Matahari. Awal waktu salat Zuhur ditetapkan pada saat Matahari berkulminasi di titik atas persis pada meridian langit dan nilai sudut waktu saat itu adalah 0 derajat. Awal waktu Asar, Magrib dan Isya ditetapkan berdasarkan perhitungan perjalanan Matahari selepas berkulminasi atas sampai Matahari berada pada titik nadir atau pertengan malam, untuk ketiga waktu salat ini nilai sudut waktunya positif, sedangkan untuk awal waktu Subuh dihitung mulai setelah Matahari melewati titik nadir hingga Matahari kembali ke titik zenith atau berkulminisi kembali, nilai sudut waktu untuk awal salat Subuh bernilai negatif.[23]

            3. Deklinasi Matahari
            Deklinasi Matahari adalah nilai jarak suatu benda langit dari equator langit yang dihitung berdasarkan panjang lingkaran waktu dengan satuan derajat, menit dan detik busur, nilai deklinasi biasanya disimbolkan dengan delta (δ). Dengan diketahui nilai deklinasi Matahari, maka posisi Matahari terhadap Bumi juga bisa ditentukan. Hal ini sangat berguna untuk mengetahui sejauhmana bayang-bayang yang dicapai oleh sinar Matahari pada permukaan Bumi yang merupakan data utama dalam proses penentuan waktu salat. Mengetahui patokan waktu dalam perhitungan waktu salat adalah suatu keharusan, karena salat diwajibkan dalam waktu tertentu dalam sehari semalam lima waktu. Dengan mengetahui nilai deklinasi Matahari di suatu daerah, perhitungan awal waktu salat di suatu daerah akan akurat dan tepat pada waktunya.[24]
            Nilai deklinasi Matahari dalam setahun tidaklah sama, nilainya akan selalu berubah-ubah sesuai dengan pergeseran dalam gerak semu harian Matahari dari arah Timur ke Barat yang diakibatkan oleh miringnya ekliptika terhadap equator langit sebesar 23 derajat 27 menit busur. Nilai deklinasi Matahari sebelah Utara equator diberi tanda positif (+) dan sebelah Selatan equator diberi tanda negatif (-). Nilai deklinasi Matahari 0 derajat pada saat Matahari persis berada pada garis equator langit yaitu pada tanggal 21 Maret, selanjutnya Matahari akan bergerak ke arah Utara sampai pada pada titik penghujung Utara yang dikenal dengan titik balik Utara pada tanggal 21 Juni dengan nilai deklinasi tertinggi +23 derajat 30 menit. Setelah itu Matahari kembali ke garis equator pada tanggal 23 September untuk kemudian bergerak ke Selatan sampai pada titik penghujung Selatan pada tanggal 22 Desember dengan nilai deklinasi -23 derajat 30 menit.[25]
            Nilai deklinasi Matahari yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu selama setahun dapat diketahui pada tabel astronomis, seperti Almanak Nautika, Ephemiris, atau pada software yang menyajikan data astronomis.
            4. Tinggi Matahari
            Tinggi Matahari adalah nilai jarak busur sepanjang lingkaran vertikal dihitung dari ufuq sampai Matahari berada. Nilai tinggi Matahari bertanda positif (+) apabila posisi Matahari berada di atas ufuq, dan bila posisi Matahari berada di bawah ufuq, maka nilai tinggi Matahari bertanda negatif (-), dalam ilmu falak disimbolkan dengan hₒ sebagai singkatan dari hight of sun.[26]
Menghitung waktu salat pada dasarnya adalah menghitung berapa nilai ketinggian Matahari saat menempati posisi yang menjadikan penunjuk waktu salat di permukaan Bumi.Dalam perhitungan penentuan waktu salat, nilai tinggi Matahari dijadikan patokan dalam menganalisa keakuratan hasil perhitungan terhadap kenyataan alam yang merupakan tanda bagi awal atau akhir waktu salat. Selama ini data yang digunakan tidak lah sama, hal ini bisa dilihat pada proses perhitungan awal waktu salat yang telah penulis sebutkan dalam bab dua. Bila dianalisa lebih dalam, maka akan berkesimpulan bahwa data yang digunakan selama ini untuk perhitungan tinggi Matahari semakin berkembang, dimana pada awal dulu perhitungan tinggi Matahari  tidak dipengaruhi oleh tinggi rendahnya suatu daerah. Di sini penulis ambil sampel dengan buku yang ditulis oleh Team Tehnis Badan Penelitian dan Pengembangan Hisab dan Rukyah Provinsi NAD pada tahun 2008.
            Pada tahun 2009 Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan sebuah buku berjudul Pedoman Hisab Muhammadiyah, buku ini penulis jadikan sebagai sampel perkembangan tingkat kedua dalam perhitungan tinggi Matahari untuk awal waktu salat. Dalam perhitungannya, data ketinggian tempat sudah diperhitungkan, tetapi masih terbatas pada penentuan awal waktu Magrib saja, sedangkan untuk waktu salat yang lain belum digunakan. Selanjutnya pada tahun 2013 Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Sub Direktorat Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam mengeluarkan buku berjudul Ilmu Falak Praktik.Sejauh analisa penulis, buku ini menempati diri pada posisi perkembangan terkini dalam sejarah perkembangan perhitungan awal waktu salat di Indonesia.Buku ini jelas menunjuki perkembangan mutakhir di era sekarang, perhitungan tinggi Matahari untuk awal waktu salat sudah merespon tinggi rendah suatu daerah untuk perhitungan awal waktu Magrib, Isya dan Subuh.
Untuk merespon upaya pengembangan ilmu falak, khususnya dalam metode perhitungan awal waktu salat, penulis mencoba untuk menempatkan penelitian ini pada tingkat keempat. Penulis menambahkan data kecemerlangan langit dalam menentukan tinggi Matahari untuk awal waktu Isya dan Subuh, karena menurut analisa penulis, dua waktu salat ini tidak hanya ketinggian tempat yang harus diperhatikan, tetapi kecemerlangan langit yang justru lebih penting untuk dipertimbangkan, mengingat dua salat ini ditentukan berdasarkan bias cahaya Matahari yang terlihat di suatu daerah.
Tinggi Matahari dalam tiga tingkatan yang terekam dalam bab dua sekaligus sebagai teori yang berkembang di Indonesia dalam penentuan awal waktu salat adalah sebagai berikut:
1. Dalam mencari nilai tinggi Matahari menggunakan pendekatan teori trigonometri bola langit dengan berpedoman kepada tiga titik yaitu deklinasi, lintang tempat dan benda langit, dalam hal ini belum menganggap penting data ketinggian tempat dan kecemerlangan langit, sehingga hasil untuk patokan tinggi Matahari dapat disimpulkan sebagai berikut:[27]
a.    Awal masuk waktu Zuhur         : 0 derajat
b.    Awal masuk waktu Asar           :Cotan ha = tan zm + 1
c.    Awal masuk waktu Magrib     : -1 atau 91 derajat
d.   Awal masuk waktu Isya            : -18 atau 108 derajat
e.    Awal masuk waktu Subuh   : -20 atau 110 derajat.
2. Dalam mencari nilai tinggi Matahari sudah menganggap penting data ketinggian tempat, tetapi hanya pada mencari nilai tinggi Matahari untuk waktu Magrib, belum menggunakan data kecemerlangan langit, sehingga hasil untuk patokan tinggi Matahari dapat disimpulkan sebagai berikut:[28]
a. Awal masuk waktu Zuhur          : 0 derajat
b. Awal masuk waktu Asar            :Cotan ha = tan zm + 1
c. Awal masuk waktu Magrib        : Tergantung data ketinggian tempat, tidak mesti 91 derajat.
d. Awal masuk waktu Isya            : -18 atau 108 derajat
e. Awal masuk waktu Subuh   : -20 atau 110 derajat.
3. Dalam mencari nilai tinggi Matahari sudah menganggap penting data ketinggian tempat, data ketinggian tempat sudah diperhatikan dalam mencari nilai tinggi Matahari untuk waktu Magrib, Isya dan Subuh, tetapi belum menggunakan data kecemerlangan langit, sehingga hasil untuk patokan tinggi Matahari dapat disimpulkan sebagai berikut:[29]
a. Awal masuk waktu Zuhur        : 0 derajat
b. Awal masuk waktu Asar          :Cotan ha = tan zm + 1
c. Awal masuk waktu Magrib       : Tergantung data ketinggian tempat, tidak mesti 91 atau -1 derajat.
d. Awal masuk waktu Isya            : Tergantung data ketinggian tempat, tidak mesti -18 atau 108 derajat.
e. Awal masuk waktu Subuh   : Tergantung data ketinggian tempat, tidak mesti -20 atau 110 derajat.
Untuk mengetahuicara mencari nilai tinggi Matahari yang adaselama ini, maka penulis memuat rumus dan contoh penyelesaian sebagai berikut:
1. Untuk awal waktu Zuhur
            Untuk awal waktu Zuhur sebenarnya tidak memerlukan nilai tinggi Matahari, sebab secara langsung data untuk awal Zuhur cukup mengetahui kapan Matahari berkulminasi, dan saat  berkulminasi, tinggi Matahari adalah 0 derajat. Bila ingin dihitung ketinggian Matahari pada awal waktu Zuhur dapat menggunakan rumus berikut:
hₒ = 90° - (φ - δₒ)
Contoh tinggi Matahari untuk awal waktu Zuhur tanggal 1 April 2015.
φ  =05° 10ʹ 48,36ʺ LU
φₒ =  04° 31ʹ 34ʺ
= 90° - (05° 10ʹ 48,36ʺ - 04° 31ʹ 34ʺ)
=89° 20ʹ 45,64ʺ
2. Untuk awal waktu Asar
            Tinggi Matahari untuk awal waktu Asar dapat dihitung melalui rumus:
cotan h = tan zᵐ + 1
Contoh tinggi Matahari untuk awal waktu Asar di Lhokseumawe tanggal 29 Desember 2014 M 
zᵐ = (φ – δ)
zᵐ = (05° 10ʹ 48,36ʺ - (-23° 12ʹ 43ʺ))
= 28° 23ʹ 31,36ʺ
Cotan h = tan zᵐ + 1
= tan 28° 23ʹ 31,36ʺ + 1
= 0,540518552 + 1
= 1,540518552
= 1 : 1,540518552 = 0,791614121 shift tan ans
hₒ = 32° 59ʹ 20,02ʺ
            3. Untuk awal waktu Magrib
            Tinggi Matahari untuk awal waktu Magrib dapat dihitung melalui rumus:
hₒ = -(s.d. + R + Dip)
= Dip = 1,76ʹ√m
= 1,76ʹ√01
Dip = 00° 01ʹ 45,06ʺ
Tinggi Matahari (h): h = -(s.d. + R + Dip)
= -(00° 16ʹ 14,03ʺ + 34ʹ 30ʺ + 00° 01ʹ 45,06ʺ)
hₒ = -00° 52ʹ 29,09ʺ
4. Untuk awal waktu Isya
            Tinggi Matahari untuk awal waktu Isya dapat dihitung melalui rumus:
hₒ = -17° + (s.d. + R + Dip)
= -(00° 16ʹ 14,03ʺ + 34ʹ 30ʺ + 00° 01ʹ 45,06ʺ)
= -00° 52ʹ 29,09ʺ
= -17° + (-00° 52ʹ 29,09ʺ)
= -17° - 00° 52ʹ 29,09ʺ
= -17° 52ʹ 29,09ʺ
5. Untuk awal waktu Subuh
            Tinggi Matahari untuk awal waktu Subuh dapat dihitung melalui rumus:
hₒ = -19° + (s.d. + R + Dip)
= -(00° 16ʹ 14,03ʺ + 34ʹ 30ʺ + 00° 01ʹ 45,06ʺ)
= -00° 52ʹ 29,09ʺ
= -19° + (-00° 52ʹ 29,09ʺ)
= -19° - 00° 52ʹ 29,09ʺ
= -19° 52ʹ 29,09ʺ
            Setelah melihat metode penentuan tinggi Matahari untuk awal waktu salat di atas, bisa disimpulkan bahwa tinggi tempat sama fungsinya untuk waktu salat Magrib, Isya dan Subuh, yaitu untuk menetapkan tinggi Matahari. Sedangkan kecemerlangan langit lokal tidak dipertimbangkan sama sekali untuk awal waktu Isya dan Subuh. Untuk menentukan tinggi tempat di permukaan Bumi, bisa dengan bantuan perangkat lunak google earth. Google earth selain menghasilkan citra permukaan Bumi, juga menyajikan nilai lintang tempat, bujur tempat dan ketinggian tempat. Cara kerja google earth, hidupkan software dan pastikan computer terkoneksi dengan internet, kemudian cari lokasi di permukaan Bumi yang ingin diketahui nilai lintang, bujur dan ketinggian tempat. Dekatkan permukaan Bumi dengan menekan pada menu pembesar (+) hingga mudah dikenali tempat yang dimaksud, lalu letakkan kursot pada titik yang ingin diketahui nilai lintang, bujur dan ketinggian tempat. Setelah kursot diletakkan pada tempat yang dimaksut, lalu lihat data pada layar monitor paling bawah, itulah data nilai lintang, bujur dan ketinggian tempat.
            Persoalan kecemerlangan langit yang penulis usulkan dalam penentuan tinggi Matahari untuk waktu Isya dan Subuh sebagai data tambahan untuk menentukan waktu salat memiliki dua alasan:
1. Mengingat waktu salat Isya dan Subuh ditentukan berdasarkan bias cahaya Matahari yang sangat erat kaitannya dengan kecemerlangan langit, berbeda dengan waktu Zuhur dan Asar yang ditentukan berdasarkan bayang-bayang suatu benda yang dihasilkan oleh pantulan sinar Matahari, sudah barang pasti bayangan Matahari ini tidak dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan kecemerlangan langit. Begitu pula dengan waktu Magrib yang ditentukan berdasarkan  terbenamnya seluruh piringan Matahari di suatu daerah. Terbenam di sini adalah hilangnya bulatan Matahari setelah melewati garis horizon mar’i di suatu daerah. Maka, untuk waktu Magrib juga tidak dipengaruhi oleh kecemerlangan langit suatu daerah tetapi ketinggian tempat sangat mempengaruhinya karena semakin tinggi daratan maka semakin rendah ufuq mar’i yang menyebabkan Matahari akan lama terlihat terbenam ketimbang daratan yang lebih rendah.
2. Sudah diakui bersama bahwa kecemerlangan langit di suatu daerah pasti berbeda dengan daerah yang lain. Kecemerlangan langit sangat tergantung pada kepadatan partikel dalam atmosfer lokal, seperti aerosol, polusi cahaya dan ketinggian tempat. Untuk mendeteksi kecemerlangan langit di suatu daerah dalam mengukur batas awal muncul cahayafajar dan batas akhir hilang cahaya senja harus melakukan pengamatan langsung dengan mata, atau dengan bantuan kamera, dan  ataudengan bantuan alatSky Quality Meter (SQM).[30]
Setelah melakukan pengamatan, catatan awal muncul cahaya fajar dan waktu akhir hilang cahaya senja yang telah dicatat dalam bentuk patokan waktu, dirobah dalam bentuk derajat dengan menggunakan software stellarium. Software stellarium yang merupakan perangkat lunak yang bisa mensimulasikan pergerakan benda-benda langit bisa mendapatkan nilai derajat busur saat hilangnya cahaya senja atau awal munculnya cahaya fajar. Cara menemukan nilai tinggi Matahari dalam bentuk derajat dengan stellarium, hidupkan program stellarium, kemudian sesuaikan tanggal dengan waktu pengamatan, selanjutnya tekan kursot pada Matahari, lihatlah data yang keluar di samping kiri layar komputer, salah satu data yang ada adalah altitude Matahari atau ketinggian Matahari. Bila data ini telah ada, maka bisa ditetapkan kapan sebenarnya daerah itu cahaya fajar muncul untuk waktu salat Subuh, dan kapan cahaya senja hilang untuk awal waktu Isya. Metode ini sangat penting, mengingat untuk menentukan awal waktu Isya dan Subuh berangkat dari bias cahaya Matahari yang dipengaruhi oleh posisi Matahari, berbeda dengan waktu salat Zuhur, Asar dan Magrib, ia ditentukan langsung berdasarkan posisi Matahari, tidak ada kaitannya dengan bias cahaya Matahari.
Persoalan kecemerlangan langit dalam penentuan waktu salat Isya dan Subuh bukanlah hal yang baru. Selama ini penetapan awal waktu Isya -18 derajat dan awal waktu Subuh -20 derajat di bawah ufuq mar’i adalah sepenuhnya berdasar kecemerlangan langit yang dihasilkan oleh peneliti pada masa dulu, hanya saja perlu penelitian ulang terhadap kecemerlangan di setiap daerah, karena mengingat kecemerlangan langit yang dipakai selama ini secara umum untuk seluruh Indonesia. Untuk kasus Indonesia, bila disepakati seperti yang disampaikan oleh Susiknan Azhari bahwa ilmu falak di Indonesia berasal dari Mesir[31] maka bisa dipastikan bahwa penetapan -18 derajat untuk waktu Isya dan -20 derajat untuk awal waktu Subuh merupakan patokan kecemerlangan langit yang ada di Mesir, belum sepenuhnya sesuai dengan kondisi kecemerlangan langit yang ada di Indonesia.
Penetapan kecemerlangan langit untuk waktu salat Isya dan Subuh berangkat pada kaedah astronomi, ketika Matahari terbenam di ufuq Barat, permukaan Bumi tidak langsung gelap. Hal ini disebabkan ada partikel-partikel di angkasa yang membias sinar matahari, sehingga walaupun sinar Matahari tidak lagi mengenai Bumi, namun masih ada bias cahaya dari partikel-partikel tersebut yang sedikit menerangi Bumi, cahaya ini dikenal dengan cahaya senja (twilight). Di saat Matahari terbenam, cahaya senja berwarna kuning kemerah-merahan yang kemudian berubah menjadi merah kehitam-hitaman dan pada akhirnya kondisi Bumi akan gelap. Pada saat posisi Matahari berada antara -6 derajat sampai -12 derajat di bawah ufuq, benda-benda di lapangan terbuka sudah samar-samar batas bentuknya. Pada saat posisi Matahari berada antara -12 derajat sampai -18 derajat di bawah ufuq, permukaan Bumi sudah gelap sempurna. Hal ini disebabkan cahaya partikel yang merah kehitam-hitaman telah hilang. Maka di saat inilah ditetapkan sebagai awal waktu Isya dengan ketinggian matahari 108 derajat.[32]
Waktu Subuh juga ditetapkan pada bias cahaya partikel yang disebut cahaya fajar. Hanya saja cahaya fajar lebih kuat daripada cahaya senja, sehingga pada posisi matahari -20 derajat di bawah ufuq Timur sudah didapatkan cahaya fajar yang menjadi patokan awal waktu shubuh.[33]Kedua cahaya ini telah diketahui dan difahami oleh para pakar ilmu falak, hanya saja dalam kasus penetapan waktu salat Isya dan Subuh masih mengikuti pada kaedah cahaya fajar dan cahaya senja yang sangat umum. Bila dilihat lebih dalam tentang penetapan ketinggian Matahari untuk awal waktu Isya dan Subuh, tidak semua negara menganut kaedah -18 derajat untuk awal waktu Isya dan -20 derajat untuk awal waktu Subuh.
Untuk lebih jelas penetapan patokan tinggi Matahari untuk awal waktu Isya dan Subuh yang dikeluarkan oleh beberapa organisasi dunia bisa dilihat dalam table berikut.
Table 3.
Patokan Tinggi Matahari untuk Waktu Isya dan Subuh.[34]
Organisasi
Tinggi Matahari untuk awal waktu Isya
Tinggi Matahari untuk awal waktu Subuh
Wilayah
Universitas Sains Islam, Karachi
18
18
Pakistan, Banglades, India, Afganistan, dan sebagian Eropa
Masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA)
15
15
Sebagian Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris Raya
Liga Islam Dunia
18
17
Eropa, Timur Jauh, dan sebagian Amerika Serikat
Ummul Qura, Mekah
19
90 menit setelah Magrib, 120 menit selama Ramadhan
Jazirah Arab
Organisasi Survey Umum, Mesir
19,5
17,5
Afrika, Syria, Irak, Lebanon, Malasia dan sebagian Amerika Serikat
Berangkat dari informasi yang ada dalam tabel di atas, maka sudah sepantasnya bagi wilayah Indonesia dan khususnya daerah Aceh untuk meneliti ulang dalam penetapan tinggi Matahari untuk awal waktu Isya dan awal waktu Subuh dengan menggunakan alat yang memadai dan sudah dipercayai untuk mengukur kecemerlangan langit di suatu daerah agar pelaksanaan salat umat tepat pada waktu yang telah ditetapkan oleh Alquran dan hadis.



[1]Ayat dah Hadis yang membahas tentang waktu salat bisa di lihat dalam bab II.
[2]Agus Mustofa, Jangan Asal Ikut-ikutan Hisab dan Rukyah,  (Surabaya: PADMA Press, t.t), hlm. 116.

[3]Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam…, hlm. 125.
[4]Muhammad Hadi Bashori, Pengantar Ilmu Falak: Pedoman Lengkap Tentang Teori dan Praktik Hisab, Arah Kiblat, Waktu Salat, Awal Bulan Qamariah dan Gerhana, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2015), hlm. 34.
[5]Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam…, hlm. 128-129. Lihat juga, Yusuf Harun, Pengantar Ilmu Falak, Cet. I, (Banda Aceh: PeNA, 2008), hlm. 35-37.
[6]Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam…, hlm. 129.

[7]Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam…, hlm. 130.
[8]A.Jamil, Ilmu Falak: Teori dan Aplikasi…, hlm. 55-64.

[9]A.Jamil, Ilmu Falak: Teori dan Aplikasi…, hlm. 55-64.
[10]Lutfi Adnan Muzamil, Studi Falak dan Trigonometri: Cara Cepat dan Praktis Memahami Trigonometri dalam Ilmu Falak, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group, 2015),  hlm. 42-45
[11]A.Jamil, Ilmu Falak: Teori dan Aplikasi…, hlm. 56
[12]M. Yusuf Harun, Pengantar Ilmu Falak, hlm. 57.
[13]M. Yusuf Harun, Pengantar Ilmu Falak, hlm. 58.
[14]A.Jamil, Ilmu Falak: Teori dan Aplikasi…, hlm. 9. Lihat juga, Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik…, hlm 39-40. 
[15]Susiknan Azhari, Ensiklopedia Hisab Rukyat…, hlm. 47. Lihat juga, A.Jamil, Ilmu Falak: Teori dan Aplikasi…, hlm. 10. 

[16]Muh. Ma’rufin Sudibyo, Sang Nabi Pun Berputar: Arah Kiblat dan Tata Cara Pengukurannya, Cet. I, (Solo: Tinta Meduna, 2011), hlm. 101-102.
[17]Muh. Ma’rufin Sudibyo, Sang Nabi Pun Berputar…, hlm. 135.

[18]Selengkapnya lihat. Syamsul Anwar, Diskusi dan Korespondensi Kalender Hijrah Global, Cet. I, (Yokyakarta: Suara Muhammadiyah, 2014), hlm. 9-38.
[19]Muchtar Yusuf, Ilmu Hisab dan Rukyah,Cet. I, (Banda Aceh: Al-wasliyah University Press, 2010), hlm. 27.

[20]Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam…, hlm 81- 82.
[21]Abdul Karim dan M.Rifa Jamaluddin Nasir, Mengenal Ilmu Falak: Teori dan Implimentasi,Cet. I, (Yogyakarta: Qudsi Media, 2012), hlm. 1. Lihat juga, Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik…, hlm 81. Lihat juga, M.Yusuf Harun, Pengantar Ilmu Falak…, hlm. 8-9.  
[22]Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam.., hlm. 70.
[23]A.Kadir, Formula Baru Ilmu…, hlm. 96. 

[24]Encup Supriatna, Hisab Rukyat dan Aplikasinya, cet. I, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 21-22. Lihat juga, M.Yusuf Harun, Pengantar Ilmu Falak…, hlm. 9-10.
[25]A.Jamil, Ilmu Falak: Teori dan Aplikasi…, hlm. 15-16.

                [26]Ahmad Musonnif, Ilmu Falak, Metode Hisab Awal Waktu Salat, Arah Kiblat, Hisab Urfi dan Hisab Hakiki Awal Bulan, Cet. I, (Yokyakarta: Teras, 2011), Hlm. 44-45. 
[27]Lihat buku, Team Tehnis Badan Penelitian dan Pengembangan Hisab dan Rukyah Provinsi NAD, Panduan Hisab Rukyat dan Penentuan Arah Qiblat, (BHR-NAD, 2008), hlm. 31-47.
[28]Lihat buku, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Cet. II, (Yokyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2009), hlm. 43-61.

[29]Kementerian agama RI, Ilmu Falak Praktik, Cet. I, (Jakarta: Sub. Direktorat Pembina Syariah dan Hisab Rukyat, Direktorat Urusan Agama Islam & Pembina Syariah, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2013), hlm. 86-93.
                [30]Dhani Herdiwijaya, Aplikasi waktu subuh dan Isya (twilight), Imah Nong, Lembang 30 Agustus 2014.

[31]Lihat. Susiknan Azhari, Ilmu Falak: Perjumpaan…, hlm. 70.

                [32]A. Jamil, Ilmu Falak: Teori.., hlm. 44-45.
                [33]Muhyiddin, Ilmu Falak dalam…, hlm. 92.
[34]Susiknan Azhari, Ilmu Falak: Perjumpaan…, hlm. 68. Lihat juga. Tono Saksono, Mengungkap Rahasia Simponi…, hlm. 102.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar