Cari Blog Ini

Kamis, 03 Januari 2019

MEMAHAMI POLITIK IDENTITAS


            Tulisan ini hanya coretan kecil dan sederhana untuk menenangkan hati diri saya sendiri yang lagi resah akibat admosfir politik yang kurang stabil menjelang pemilihan presiden 17 April 2019. Tulisan ini tidak didasari atas teori ilmiah, lebih tepatnya boleh dikatakan bahwa tulisan ini hanya hasil refleksi pikiran saya terhadap kemuruh isu politik di negara yang manyoritas masyarakatnya beragama Islam. Kegelisahan terjadi saat membaca dan mendengar respon terhadap isu politik dari teman-teman sejawat yang tidak sedikit telah terjebak dalam lumpur fitnah, gibah dan namimah. Tentunya kondisi ini sangat merugikan kita semua, oleh karena itu melalui tulisan ini saya mencoba untuk mengingat diri sendiri agar tidak terjebak dalam kondisi yang sangat merugikan.

            Setidaknya ada tiga hal yang perlu kita sadari dalam membaca praktik politik identitas, pertama setiap “simbol” yang digunakan dalam dunia politik itu juga bahagian dari politik. Kedua setiap politikus tidak ada tujuan atau berharap dari setiap perilakunya agar menimbulkan nilai negatif untuk dirinya. Ketiga semua isu politik yang muncul di hadapan kita harus dilihat dari kacamata ilmu politik. Untuk melihat contoh praktik politik identitas, kita boleh berkaca pada pemilihan presiden AS tahun 2016 lalu, dimana saat kampanye sering terdengar pernyataan kontradiktif secara isu internasional namun sangat ampuh untuk mengumpulkan suara salah satu kandidat presiden di negara tersebut. Di Indonesia juga masih membekas di benak kita saat menjelang pemilu tahun 2017, dimana salah satu kandidat calon Gubernur DKI Jakarta terjerat hukum penistaan terhadap agama. Dua contoh kecil peristiwa ini seharusnya kita sadar bahwa apa yang terjadi selama ini adalah praktik politik identitas.
            Dalam dunia politik, praktik politik identitas ini sangat diperlukan untuk mencapai sebuah tujuan dalam perpolitikan. Simbol-simbol identitas sangat perlu diangkat ke permukaan untuk mendapatkan simpatisan yang memiliki selera dengan simbol tersebut atau untuk melemahkan lawan yang tidak memiliki simbol tersebut atau untuk mengukur seberapa banyak kekuatan atau simpatisan yang sudah dimiliki. Simbol yang dijual itu sangat tergantung medan pembeli, ada simbol budaya, agama, pendidikan, lapangan kerja dan pembangunan. Tentunya sebelum simbol ini dijual harus ada survei terlebih dahulu. Jangan heran bila dadakan jadi relawan, santri dan dekat dengan tokoh-tokoh tertentu. Dalam dunia perpolitikan, simbol identitas itu bisa digambarkan seperti warna kain di sebuah toko, dari beragam warna yang ada maka akan terlihat bahwa setiap pembeli punya selera tersendiri terhadap sebuah warna kain, tentunya semakin banyak pilihan warna yang tersedia dalam sebuah toko semakin banyak pula peminatnya. Begitu juga dengan politikus, semakin banyak simbol yang dia kuasai (sesuai dengan keinginan masyarakat) semakin banyak pula pengikutnya.
             Sampai disini kita harus sadar, kenapa ada yang berani mengeluarkan pernyataan yang menurut kita kontradiktif dengan manyoritas, seperti akan melarang poligami, anjuran untuk mengucapkan selamat Natal, semua ini harus dilihat dari teori politik identitas, tentunya ada maksud positif bagi perpolitikan yang kadang kita tidak memahaminya. Begitu pula isu jadi imam salat, tes baca Alquran dan isu-isu lain yang merupakan simbol politik identitas. Dalam hal ini kita tidak boleh terjebak dengan simbol-simbol tersebut, harus cepat-cepat cari maksud dari simbol yang dijual sebagai isu politik. Tidak boleh latah dalam menyikapi sikap penjual simbol identitas tersebut, kita harus hati-hati dalam menyikapi agar tidak tercatat sebagai pelaku fitnah, gibah dan namimah yang akan menuai dosa dan menghapus pahala yang telah kita dapatkan. Kita sering salah dalam menilai isu politik bila kacamata yang digunakan salah, bisa di contoh kan ada orang yang mengatakan bahwa makan ikan asin sangat berbahaya, bila ungkapan ini salah tidak di tabayyun, bisa kita terjebak dalam dugaan yang salah, bisa kita menuduh orang itu sombong, menghina orang miskin dan lain-lain, padahal boleh jadi ungkapan itu di tunjuki kepada orang yang sakit gigi sangat berbahaya bila makan ikan asin. Makna ini penting di ungkapkan agar kita terhindar dari tumbuh suburnya penyakit hati.  
            Bagaimana sikap yang harus kita lakukan terhadap isu politik identitas ini? Sejauh amatan saya, hal yang paling selamat adalah anggaplah dan lihatlah setiap isu politik itu dengan kacamata positif. Sebagai contoh, saat simbol yang digunakan bisa menghina agama Islam, mari kita ajak umat Islam untuk aktif dalam dunia perpolitikan yang sesuai dengan politik Islam dengan cara yang islami, karena mereka yang menjual simbol agama itu tentunya ada nilai positif yang telah terbaca dan tercatat dalam kesimpulannya, dalam dunia politik tidak ada yang ingin dirugikan, sering kita dengar jargon politik “dalam politik tidak ada musuh abadi dan teman sejati, yang ada hanya kepentingan yang abadi”. Bila kita sudah sadar terhadap kenapa simbol-simbol itu harus muncul dalam politik identitas, selanjut nya sikap kita adalah jangan mencaci dan memaki si penjual simbol tersebut karena hal ini akan membuat kita berdosa.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar