Cari Blog Ini

Jumat, 12 April 2019

Hasil Muzakarah Ulama Aceh Tahun 1975 tentang penentuan awal Ramahan.

Di Indonesia, penentuan awal puasa Ramadhan, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha menjadi keunikan tersendiri. Masyarakat Indonesia yang pluralisme dan fanatik membuat keragaman dalam mengawali puasa dan hari raya tidak serentak di seluruh Indonesia. 

Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kemeterian Agama telah berupaya untuk menyatukan persepsi dalam menentukan awal puasa dan hari raya dengan cara sidang istbat. Namun nyatanya sidang istbat blum mampu menyatukan ummat Islam Indonesia untuk bersatu dalam mengawali puasa Ramadhan dan berhari raya. Perbedaan ini ada yang dilatarbelakangi oleh konsep politik identitas dan ada juga pengaruh dari sempitnya konsep fikih yang dipakai, hanya konsep fikih ibadah tidak mengacu pada fikih hisab rukyat dan fikih siyasah syariyah atau fikih konstitusional.
Perbedaan ini juga mewarnai masyarakat Aceh dari semenjak dahulu kala. Otoritas dalam mengistbatkan hilal sebagai tanda masuk awal dan akhir ramadhan tidak tunggal bagi masyarakat Aceh, ada yang mengikuti istbat pemerintah dan ada yang mengikuti tokoh ulama dan pimpinan Dayah masing-masing. Namun ternyata ulama Aceh telah menyikapi perbedaan ini dalam muzakarah atau ijtihad jama'i di Masjid Siam Aceh Besar pada tanggal 22 Rajab 1395 H bertepatan dengan tanggal 31 Juli 1975. Walaupun dalam keputusan itu belum muncul pembahasan dari ulama aceh terhadap siapa otoritas tunggal yang harus dipedomani dalam menetapkan isbat hilal, saat itu masih membahas rukyah hilal sebagai patokan masuk awal bulan dan konseb matlak hilal yang dalam mazhab Syafi'i juga masih khilafiyah. Terbaca dalam putusan tersebut pada poin 3 digambarkan dua aliran pendapat menyangkut dengan konsep matlak hilal. Dalam keputusan itu pada poin 3-b disebutkan bahwa pendapat yang kedua dalam mazhab syafi'i juga membolehkan berpuasa bagi orang yang berlainan matlak atas dasar rukyah hilal di madlak lain. Bila dianalisa secara konteks, matlak hukmi yang dipedomani oleh pemerintah dalam nenetapkan isbat hilal masih relefan dengan mazhab syafi'i.
Bila dianalisa lebih dalam, keputusan ini sudah semestinya kita ikuti demi terwujutnya penyatuan umat Islam dalam mengawali Ramadhan dan berhari raya. Persatuan jauh lebih penting ketimbang kita bersikukuh dengan berpegang pada pendapat yang manyoritas atau yang lebih kuat dalam mazhab Syafi'i. Di era digital yang seperti ini, perbedaan dalam dimensi sosial yang sedikit akan berakibat fatal (perpecahan dan permusuhan) dalam diri umat Islam. Semua persoalan sosial begitu mudah dimanfaatkan dan digiring opini publik dengan perangkat media sosial, yang pada ujungnya ketegangan antara kelompok yang berbeda sulit untuk dihindari.
Sejauh yang saya pahami, sebab wajib puasa itu dengan rukyah hilal bulan Ramadhan pada Magrib 29 Syakban atau setelah genapnya jumlah bulan Syakban 30 hari. Dalam konseb wajib berpuasa pada rukyah hilal itu ada dua, pertama wajib puasa bagi orang yang yakin dengan rukyah hilal yang dia lakukan sendiri. Kedua wajib puasa akiban ada istbah hilal oleh otoritas atau pemerintah. Bagi orang yang yakin dengan hasil rukyah nya tidak ada persoalan dengan konseb imkan rukyah hilal saat hilal dia amati karena bagi dia hanya berlaku konsep yakin atau tidak apa yang dia lihat itu hilal. Namun bagi otoritas, dalam kitab fikih disebut dengan hakim dan di Indonesia disebut tim sidang istbat hilal, tidak boleh mengacu pada yakin nya atau tidak terhadap kesaksian para perukyah hilal dilapangan. Otoritas harus mempertimbangkan beberapa hal dalam memutuskan istbat hilal, pertama data astronomis untuk memastikan secara teori hilal saat itu mungkin dilihat. Kedua verifikasi data dengan berita kesaksian orang yang mengaku melihat hilal. Ketiga integritas orang yang mengaku melihat hilal selain adil harus ahli dalam persoalan hilal, bukan para mencari hilal tapi para melihat hilal. Orang mencari hilal itu tidak ada bekal ilmu dan instrumen yang memada untuk melihat hilal, sedangkan orang melihat hilal itu sudah memadai dalam ilmu dan insrumen hilal. Maka, dalam rukyah hilal boleh bebas dari kriteria, tapi untuk istbat rukyah hilal harus ada kriteria. Mari kita jadikan sidang istbat sebagai otoritas tunggal dalam menetapkan awal bulan ramadhan dan hari raya, karena  hanya dengan ini bisa kita menyatukan umat Islam di Indobesai yang sangat beragam ras dan adat istiadat.
Ini dokumen hasil muzakarah ulama Aceh yang saya dapatkan dari media sosial.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar