Matahari
merupakan satu-satunya benda langit yang dijadikan sebagai patokan dalam
penentuan waktu salat, hal ini didapatkan berdasarkanpemahaman ayat-ayat
Alquran dan hadis-hadis Rasulullah Saw. Dalam menjelaskan waktu salat.[1]Di
masa awal, umat Islam menerjemahkan perjalanan Matahari untuk penentuan waktu
salat dengan cara melihat langsung (ru’yah) kepada Matahari atau bayangan yang dihasilkannya. Jadwal waktu
salat yang ada selama ini di masjid-mesjid sepenuhnya berpedoman pada metode hisab,
yaitu menghitung posisi Matahari saat mewujudkan tanda-tanda masuk waktu salat.
Metode ini menggunakan pendekatan ilmu trigonometri bola dalam menerjemahkan
perjalanan Matahari untuk dijadikan pedoman penentuan waktu salat. Metode ini juga
sudah digunakan diseluruh dunia di mana umat Islam berada.
Agus Mustofa menjelaskan bahwa, hampir semua negara yang telah ia
kunjungi, umat Islam dalam mengerjakan salat menggunakan jam digital untuk
penanda waktu salat. Ini menandai bahwa umat Islam tidak lagi berpedoman
langsung pada melihat Matahari dalam mengawali masuk waktu salat. Itulah era
modern di mana kita hidup sekarang, kriteria-kriteria yang bersifat alamiah
banyak yang sudah dikonversi menjadi sistem dan alat bantu yang teknologis.
Tanpa itu, manusia bakal kesulitan dalam menandai waktu, karena setiap saat
harus melihat ke langit untuk menentukan jam berapa saat itu, sementara kondisi
cuaca langit selalu berubah-ubah tidak menentu. Maka, adalah sebuah alasan yang
sangat logis ketika manusia sekarang lebih suka menggunakan dan mempercayai jam
digital daripada mempercayai matanya untuk melihat perubahan kondisi alam.[2]
Kehadiran jam digital dalam
kehidupan ini memang sangat memudahkan umat Islam dalam menandai awal-akhir waktu
salat. Namun perlu digarisbawahi bahwa hasil dari suatu perhitungan terhadap
waktu salat yang dipedomani berdasarkan jam, haruslah sesuai dengan kondisi
alam di mana umat Islam itu berada. Hal ini sangat penting, karena mengingat
kehadiran ilmu falak dalam perhitungan waktu salat hanya untuk kemudahan umat
dalam mengetahui masuk waktu salat. Ilmu falak bukan dalil syar’i yang
harus ditelan mentah-mentah dari apa yang dihasilkannya, ia harus sejalan
dengan hasil Alquran dan hadis. Untuk menjaga kesesuaian antara hasil
perhitungan awal waktu salat dengan Alquran dan hadis, menurut penulis, penting
untuk diketahui bagaimana ilmu falak menerjemahkan perjalanan Matahari dalam
menentukan waktu salat dan data apa saja yang diperlukan oleh ilmu falak dalam
menentukan posisi Matahari dalam perhitungan awal waktu salat. Pertanyaan ini
muncul karena selama ini metode perhitungan waktu salat di Indonesia masih
beragam sebagaimana tergambar dalam bab dua.
A. Peredaran Semu Matahari
Menurut teori heliosentris bahwa
Matahari merupakan pusat peredaran benda-benda langit dalam tata surya ini. Oleh
karena itu, dalam penentuan waktu di suatu tempat dalam jagat raya ini perlu
diketahui peredaran Matahari, baik peredaran semu maupun peredaran sebenarnya.[3]
Perjalanan harian Matahari yang terbit dari Timur dan terbenam di Barat itu
bukanlah gerak Matahari yang sebenarnya, melainkan disebabkan oleh perputaran
Bumi pada sumbunya selama sehari semalam, sehingga perjalanan Matahari dari
arah Timur ke Barat disebut perjalanan semu Matahari.[4]
Untuk memudahkan dalam memahami tentang perjalanan semu Matahari, bisa diilustrasikan ketika seseorang berada dalam
sebuah mobil yang melaju dalam kecepatan tinggi dari arah Barat ke Timur, maka
orang yang berada dalam mobil tersebut akan melihat benda-benda di sepanjang
jalan seperti rumah, ruko dan pepohonan seolah-olah melaju cepat dari arah
Timur ke Barat. Pergerakan rumah, ruko, dan pepohonan inilah yang dinamai
dengan gerak semu.
Dalam penentuan awal waktu salat,
data gerak semu Matahari sangat diperlukan karena Alquran dan hadis dalam
menjelaskan awal waktu salat berdasarkan bias cahaya Matahari yang bisa diamati
di permukaan Bumi, perbedaan bias cahaya Matahari dalam sehari semalam
disebabkan juga oleh peredaran semu Matahari. Gerak semu Matahari terjadi
akibat dari dua gerakan Bumi dalam mengelilingi Matahari yaitu gerak harian dan
gerak tahunan. Untuk mengetahui perhitungan waktu salat, harus diketahui
hakikat (gerakan yang sebenarnya) dari gerakan semu Matahari.
1. Rotasi Bumi
Rotasi Bumi adalah perputaran Bumi
pada porosnya dari arah Barat ke Timur dengan kecepatan rata-rata 108 ribu km
perjam dan satu kali putaran penuh membutuhkan waktu rata-rata 24 jam dengan
jarak tempuh setiap 1 jam mencapai 15 derajat busur atau 4 menit untuk setiap 1
derajat busur, gerak inilah yang dinamakan dengan gerak harian. Akibat dari
rotasi Bumi ini antara lain terjadinya perbedaan waktu antara satu tempat
dengan tempat yang lain dan terjadinya siang malam di permukaan Bumi, dimana
permukaan Bumi yang menghadap ke Matahari adalah siang, sedangkan permukaan
Bumi yang membelakanginya adalah malam.[5]
Arah rotasi Bumi dari Barat ke Timur
mengakibatkan tempat-tempat di Bumi belahan Timur akan mengalami waktu duluan
ketimbang tempat-tempat di sebelah Baratnya dan terlihatnya seluruh benda-benda
langit seperti Matahari, Bulan dan bintang-bintang bergerak melaju dari arah
Timur ke Barat sejajar dengan equator. Dalam kaitannya
dengan perhitungan awal waktu salat, gerak harian (rotasi Bumi) sangat
diperlukan. Dengan diketahuinya sistem rotasi Bumi, maka perhitungan waktu
salat bisa diselesaikan dengan mudah karena kapan posisi Matahari tergelincir
di atasmeridian langit, terbenam dan terbit Matahari yang merupakan tanda bagi
masuk dan berakhir waktu salat seluruhnya disebabkan oleh gerak harian Bumi
atau rotasi Bumi.
2. Revolusi Bumi
Revolusi Bumi adalah peredaran Bumi mengelilingi
Matahari dari arah Barat ke Timur dengan kecepatan sekitar 30 km per detik dan
satu kali putaran penuh 360 derajat memerlukan waktu 365,2425 hari, sehingga
gerak Bumi ini disebut gerak tahunan. Jangka waktu
revolusi Bumi dijadikan dasar dalam perhitungan tahun dalam penaggalan Masehi.[6]
Dengan adanya kemiringan ekliptika 23 derajat 27 menit busur terhadap equator mengakibatkan adanya deklinasi Matahari dengan nilainya yang
berbeda-beda dalam setiap hari.
Ketika Matahari berada tepat di equator pada tanggal 21 Maret, maka harga deklinasi adalah 0 derajat.
Berangsur kemudian, Bumi berjalan ke arah Timur sehingga Matahari di setiap
terbit seolah-olah bergeser ke utara dalam setiap hari sebesar ½ piringan
Matahari sampai mencapai titik paling Utara pada tanggal 21 Juni, pada hari ini
dinamai dengan titik balik Utara dengan nilai deklinasi Matahari terbesar
positif 23 derajat 27 menit busur. Setelah itu Matahari berangsur-ansur kembali
menuju equator tepat pada tanggal 23 September Matahari kembali pada posisi garis equator dengan nilai deklinasi kembali kepada 0 derajat. Setelah itu Matahari
bergerak ke arah Selatan, tepat pada tanggal 22 Desember Matahari sudah berada
pada titik paling Selatan dan dikenal pula dengan titik balik Selatan dengan
nilai deklinasi negatif 23 derajat 27 menit busur.Kemudian Matahari kembali ke
titik garis equator langit tepat kembali pada tanggal 21 Maret, semua peristiwa ini
diakibatkan oleh adanya revolusi Bumi.[7]
Dengan adanya revolusi Bumi dan kemiringan ekliptika, maka terjadilah
perubahan dan pembahagian musim di permukaan Bumi dan penyelamatan atau terjaga
jumlah penyimpanan air di Bumi dan adanya perubahan nilai deklinasi Matahari
dan inilah yang menyebabkan waktu salat lima waktu selalu terjadi perubahan
dari hari ke hari dalam satu tahun. Dalam perhitungan awal waktu salat, nilai
deklinasi Matahari sangat menentukan keakuratan hasil perhitungan waktu salat
untuk satu daerah di hari tertentu karena mengingat nilai deklinasi Matahari berbeda dalam
setiap hari sampai setahun dan mengakibatkan setiap tempat untuk setiap hari
berbeda panjang bayang suatu benda saat Matahari mencapai titik zenith tergantung besar kecil nilai lintang suatu tempat.
B. Bangunan Teori Trigonometri Bola
Metode penyelesaian
rumus perhitungan waktu salat yang ada selama ini tidak terlepas dari teori
trigonometri bola yang sudah lazim digunakan untuk menentukan jadwal salat lima
waktu. Oleh karena itu penjelasan berikut ini menjadi sangat penting karena
menyangkut dengan ruh perhitungan waktu salat dalam teori trigonometri bola,
yaitu definisi trigonometri bola, teori dasar trigonometri bola dan teori
trigonometri bola dalam perhitungan waktu salat.
1. Definisi teori trigonometri bola
Selama ini soal-soal yang ada dalam ilmu falak biasanya diselesaikan
dengan bantuan teori trigonometri bola.Teori
ini banyak digunakan untuk perhitungan penentuan awal bulan Hijriah, waktu
salat, gerhana Matahari dan Bulan, dan perhitungan lainnya.Secara etimologi,
kata trigonometri berasal dari bahasa Yunani “trigonometria”.Kata
ini terdiri dari dua suku kata yaitu “trigonon” yang berarti segitiga atau tiga
sudut dan “metro” yang berarti mengukur.Istilah trigonometri ini
dikenal sebagai sebuah cabang ilmu matematika yang membahas tentang sudut
segitiga dan fungsi trigonometri seperti sinus, cosinus dan tangen. Sedangkan bola didefinisikan sebagai permukaan di mana semua titik
berjarak sama dari sebuah titik pusat.[8]
Secara terminologi, trigonometri bola didefinisikan sebagai ilmu ukur
sudut bidang datar yang diaplikasikan pada permukaan yang berbentuk bola. Oleh
karena itu, ilmu ini sangat penting untuk perhitungan ilmu astronomi dan ilmu
falak, karena ilmu ini sangat kompleks, bisa digunakan untuk perhitungan
pengukuran permukaan Bumi, orbit benda langit, posisi benda langit seperti
Matahari, Bumi, Bulan dan sebagainya untuk kepentingan penentuan arah dan waktu
di permukaan Bumi.[9]
2. Teori dasar trigonometri bola
Teori trigonometri bola sangat erat kaitannya dengan geometri bola,
karena berkaitan dangan segitiga pada bola dan hubungan antara sisi dan sudut.
Sebuah bola didefinisikan sebagai permukaan, di mana semua titik berjarak sama
dari sebuah titik pusat.Apabila tiga buah lingkaran besar pada permukaan sebuah
bola saling berpotong-potongan, terjadilah sebuah segitiga bola.Ketiga titik
potong merupakan titik sudut A, B, dan C, besar sudut segitiga itu dinamakan
sudut A, B, dan C, semua sisinya dinamakan a, b, dan c, yaitu sisi yang
berhadapan dengan sudut A, B, dan C.[10]
Ilmu ukur segitiga bola, mempersoalkan hubungan-hubungan di antara
unsur-unsur dalam segitiga bola. Hukum yang terpenting dalam ilmu ukur segitiga
bola adalah hukum cosinus dengan rumus: cos a = cos b cos c + sin b sin cos A,
dan hukum sinus dengan rumus: sin a / sin A = sin b /sin B = sin c / sin C.[11]
Untuk lebih jelas bisa dilihat pada gambar:
Gambar 1.Bentuk Trigonometri Bola.
Sinus (sin). A = a/b
Cosinus (cos). a = c/b
Tangent (tg). A = a/c
Cotangent (cotg). A = 1/tg.A
Cosecant (coses). A = 1/sin.A
Secan (sec). A =
1/cos.A
Dua hukum inilah yang
selalu ditemukan dan tidak dapat dihindari dalam perhitungan awal waktu salat,
dimulai dari mencari nilai deklinasi Matahari, sudut waktu Matahari dan nilai
tinggi Matahari.
3. Teori trigonometri bola dalam perhitungan waktu salat
Untuk perhitungan waktu salat digunakan teori trigonometri bola langit
atau segi tiga bola langit, yaitu segi tiga bola yang bertitik sudut pada zenith, kutub Utara langit dan benda langit yang sedang diamati.Sisinya tetap tiga yaitu bagian meridian langit
setempat yang menghubung titik zenith dengan kutub Utara langit,
lingkaran vertikal yang menghubungkan titik zenith dengan benda langit yang
dimaksud, dan lingkaran waktu di antara kutub Utara langit dan benda langit.[12]
Tinggi kutub langit di suatu tempat sama dengan
nilai lintang di suatu tempat, bila seseorang berada pada garis equator Bumi, maka nilai tinggi kutub langit adalah 90
derajat, dan seterusnya nilai tinggi kutub langit tergantung nilai lintang
suatu tempat. Sebagai contoh, kota Lhokseumawe dengan nilai lintang 5 derajat
sebelah Utara, maka bisa dipastikan nilai tinggi kutub langit untuk kota
Lhokseumawe adalah 5 derajat juga.[13] Dikarenakan nilai tinggi kutub langitsama
dengan nilai lintang suatu tempat, dalam perhitungan waktu salat nilai titik
sudut kutub Utara langit langsung digantikan dengan nilai lintang suatu tempat.
Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa dalam segitiga bola
langit terdapat lima unsur penting yang harus diketahui yaitu lintang tempat,
deklinasi benda langit, tinggi benda langit, sudut waktu setempat dan azimuth. Jika tiga unsur di antaranya telah diketahui, maka dua unsur lainnya
dapat diketahui dengan mempergunakan rumus ilmu ukur segitiga bola langit.
Dalam perhitungan awal waktu salat, lima data ini sangat penting, karena dari
lima data inilah waktu salat dapat ditentukan untuk suatu wilayah.
C. Data dalam Perhitungan Waktu Salat
Dalam perhitungan
waktu salat, mengetahui data yang digunakan dalam penyelesaian rumus sangatlah
penting,karena menjadi jantung dalam
perhitungan waktu salat, dalam artian kebenaran hasil perhitungan waktu salat
sangat tergantung keakuratan dari data yang digunakan. Oleh karena itu penulis
merasa penting untuk membahas data yang diperlukan untuk menyelesaikan rumus
penentuan waktu salat.
1. Lintang dan Bujur
tempat
Dalam setiap
perhitungan waktu salat, lintang dan bujur tempat sangat penting karena hasil
perhitungan tidak akan sesuai dengan suatu daerah bila lintang dan bujur tidak
sesuai. Jadi apa itu lintang dan bujur tempat dan apa kegunaannya dalam
perhitungan waktu salat?
Lintang tempat yang
biasanya disimbolkan dengan fi (φ) adalah jarak garis khayali yang diukur dari
garis khatulistiwa ke suatu tempat sampai ke kutub.Bila daerah berada sebelah
utara garis khatulistiwa dinamakan Lintang Utara (LU) yang bernilai positif
(+), sedangkan daerah yang ada di belahan selatan garis katulistiwa dinamakan
dengan Lintang Selatan (LS) yang bernilai negatif (-).[14]
Sebagai contoh, Lhokseumawe +05°
10ʹ 48,36ʺ dan kota Semarang -07ᵒ 00ʹ. Dari dua daerah ini dapat dipastikan
bahwa kota Lhokseumawe berada di belahan Utara garis khatulistiwa dengan jarak
5 derajat 10 menit 48,36 detik,dan kota Semarang berada di belahan Selatan
garis katulistiwa dengan nilai 7 derajat 00 menit.Penetapan garis khatulistiwa
sebagai garis lintang 0 tidak dipolitisi oleh pihak manapun, dimana penetapan
ini terjadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan tentang Bumi yang
dimiliki oleh manusia. Untuk
memudahkan, lihatlah gambar berikut.
Gambar
2.Lintang Tempat pada Permukaan Bumi.
KU = Kutub Utara
KS = Kutub Selatan
LU = Lintang Utara
LS = Lintang Selatan
0 = garis khatulistiwa
Garis lintang dalam
gambar di atas dapat dilihat dari sejumlah garis yang ada tanda panah dari
angka 0 sampai lambang (+) yang merupakan Lintang Utara dan sampai lambang (-)
yang merupakan Lintang Selatan.
Bujur tempat yang
biasanya disimbolkan dengan lamda (λ) adalah garis khayali yang diukur dari jarak suatu tempat mulai
dari kota Greenwich di Inggris yang dijadikan sebagai garis bujur 0° sampai
dengan bujur 180° sebelah Timur atau 180° sebelah Barat. Daerah yang berada di
sebelah Timur kota Greenwich nilai bujurnya minus (-) dan dinamai dengan Bujur
Timur (BT). Sedangkan daerah yang berada sebelah Barat kota Greenwich nilai
bujurnya positif (+) dan dinamai dengan Bujur Barat (BB). Daerah perjumpaan
antara Bujur Timur dengan Bujur Barat dijadikan sebagai batasan Garis Tanggal
Internasional (GTI) yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan International Date Line,di mana garis ini tepat melintas di tengah-tengan Samudera Pasifik.[15]
Gambar 3.Bujur
Tempat pada Permukaan Bumi.
KU = Kutub Utara
KS = Kutub Selatan
BT = Bujur Timur
BB = Bujur Barat
KU 0 KS = garis bujur 0 yang melintasi kota Greenwich
180 = pertemuan ujung Bujur Barat dengan Bujur Timur
T = Timur
B = Barat
Dalam sejarahnya,
terdapat banyak usulan terkait letak garis bujur 0, misalnya garis meridian
Greenwech, Paris, Warsawa, ataupun Washinton. Namun, komfrensi meridian
internasional di Washinton yang diselenggarakan pada bulan Oktober 1884 M atas
undangan presiden Chester A. Arthur dengan dihadiri oleh 25 negara telah menyepakati garis
bujur 0 adalah garis meridian Greenwich, yakni garis yang melintasi kompleks
observatorium kerajaan Inggris di Greenwich, dengan pertimbangan 70% armada
pelayaran saat itu telah menggunakan Greenwich sebagai acuan.[16] Peran utama garis
bujur adalah sebagai panduan pedoman waktu, dengan garis bujur 0° yang berada
tepat di Greenwich sebagai patokan waktu universal. Belahan Bumi di sebelah
Barat garis bujur 0° sampai garis bujur 180° waktu lokalnya senantiasa lebih
lambat dibandingkan dengan waktu universal. Sebaliknya, belahan Bumi di sebelah
Timur garis bujur 0° sampai 180° waktu lokalnya selalu mendahului waktu
universal.
Akibat dari periode rotasi rata-rata Bumi adalah 24 jam sehingga
idealnya seluruh permukaan Bumi terbagi ke dalam 24 zona waktu, 12 zona waktu
di sebelah Barat dan 12 zona waktu di sebelah Timur, dengan jarak antara satu
zona waktu dengan zona waktu lainnya yang berdampingan adalah 15° dengan
selisih waktu 1 jam. Namun, sebagai akibat dari tidak lurusnya garis batas
penanggalan internasional yang diakibatkan oleh politik dalam pembagian wilayah
di daerah bujur 180°, sejak tahun 1995 M, di Bumi terdapat 26 zona waktu dengan
rincian 12 zona waktu di kawasan Bujur Barat dan 14 zona waktu di kawasan Bujur
Timur.[17]
Di akhir-akhir ini ada yang mengusulkan pergantian garis bujur nol dari
kota Greenwich ke kota Mekah dengan patokan Kakbah sebagai garis bujur nol. Di
Indonesia usulan ini disampaikan oleh Bambang Eko Budhiyono dalam bukunya
berjudul Ka’bah
Universal Time yang disingkat KUT.
Gagasan ini mendapatkan tanggapan yang beragam dari pembaca, ada yang
mengapresiasi dari gagasan ini, ada juga yang menganggap perbuatan yang
sia-sia, karena selama ini tidak ada masalah dengan waktu GMT (Greenwich Mean Time). Dalam hal ini tokoh ilmu falak dari Muhammadiyah,Syamsul Anwar juga
ikut ambil bagian dalam mengomentari gagasan tersebut yang dituangkan dalam
salah satu bab bukunya yang diberi judulKa’bah
Universal Time Solusi atau Masalah?. Menurut Syamsul Anwar membuat garis batas tanggal yang melintasi
pusat kakbah yang berada di tengah-tengah kota Mekah yang padat penduduk lebih
banyak mudharatnya daripada manfaatnya bahkan dapat menimbulkan bidah. Masjidil
Haram dan rumuh-rumah penduduk akan terbelah dan akan mengalami hari yang
berbeda.[18]
Praktek pembagian waktu salat bisa diamati bersama pada jadwal waktu
salat yang ada di setiap masjid,selama ini patokan waktu yang digunakan adalah
pembahagian zona waktu GMT, seperti untuk zona Waktu Indonesia Barat (WIB) +07
jam dari waktu Greenwich Maen Time (GMT). Dalam pendistribusian jadwal waktu
salat selama ini hanya mengikuti kaedah pembagian waktu GMT berdasarkan kaedah
bujur, waktu salat dihitung berdasarkan patokan satu titik daerah tertentu
dengan mengambil data bujur dan lintang, kemudian hasilnya diberlakukan untuk
wilayah sekitarnya dengan mengambil kaedah pembagian waktu GMT, yaitu dikurangi
untuk wilayah Timur titik pengukuran dan ditambah untuk wilayah Barat titik
pengukuran. Sebagai contoh bisa dilihat pada perhitungan penulis pada bab dua,
dimana penulis mengambil titik perhitungan adalah masjid Islamic Center Kota
Lhokseumawe. Bila hasil ini ingin diterapkan untuk wilayah lain, maka untuk
wilayah yang sebelah Timur masjid Islamic Center harus dikurangi dan yang
sebelah Barat harus ditambahkan dari hasil perhitungan dengan kadar 1 menit
waktu untuk setiap 27 km. Bila dilihat dari segi pembagian waktu, metode ini
sudah bagus, tetapi bila dikaitkan dengan waktu salat, masih ada tanda tanya
terhadap keakuratannya, karena waktu salat bisa dipastikan juga ada pengaruhnya
nilai lintang,
karena waktu salat ditentukan berdasarkan titik zenith, sudut waktu dan kutub Utara langit.
2. Sudut waktu Matahari
Sudut waktu Matahari adalah jarak busur sepanjang lingkaran harian
Matahari dihitung dari titik kulminasi atas sampai Matahari berada.[19] Nilai
sudut waktu Matahari adalah 0 derajat ketika Matahari berkulminasi atas, atau
ketika Matahari tepat pada garis meridian langit, dan 180 derajat ketika
Matahari berada di titik kulminasi bawah. Nilai sudut waktu Matahari bertanda
positif (+) ketika Matahariberada di belahan Barat dan bernilai negatif (-) di
saat Matahari berada di sebelah Timur. Sudut waktu Matahari terbentuk pada satu
sudut 90 derajat di kutub Utara langit atau kutub Selatan langit yang diapit
oleh garis meridian dan lingkaran deklinasi yang melewati Matahari. Setiap lingkaran waktu membentuk sudut dengan lingkaran meridian langit,
sudut waktu ini terlihat pada kutub langit. Nilai sudut waktu Matahari ini
dapat dihitung dengan rumus:
Cos tₒ = -tan φ tan δₒ + san hₒ : cos φ : cos δₒ
tₒ = sudut waktu Matahari
φ = Lintang Tempat
δₒ = deklinasi Matahari
hₒ = tinggi Matahari pada
awal waktu salat.[20]
Nilai sudut waktu Matahari ini kemudian dijadikan patokan waktu di Bumi
dengan memindahkan dari nilai busur ke nilai waktu, sistem pembahagiannya
adalah sebagai berikut:
360 derajat = 24 jam
15 derajat = 1 jam
1 derajat = 4 menit waktu
15 menit = 1 menit waktu
1 menit = 4 detik
waktu.[21]
Waktu di Bumi dibagi berdasarkan nilai sudut waktu Matahari dengan
berpedoman pada pembagian bujur di Bumi. Garis bujur waktu di Bumi dimulai pada
garis bujur istimewa yaitu bujur 0 derajat yang melintasi kota Greenwich di
Inggris, waktu di bujur 0 biasanya diistilahkan dengan GMT (Greenwich Mean Time). Setiap 15 derajat bujur ditetapkan satu zona waktu dengan selisih
waktu satu jam. Agar sesuai waktu untuk masing-masing wilayah, maka sebelah
Barat Greenwich dikurangi satu jam untuk satu zona waktu dariwaktu Greenwich
dan ditambah satu jam untuk satu zona waktu di sebelah Timur Greenwich. Untuk wilayah Indonesia, berdasarkan Keputusan Presiden RI
(Soeharto) Nomor 41 Tahun 1987 tanggal 26 November 1987 untuk selanjutnya
mencabut Keputusan Presiden (Soekarno) Nomor 243 tahun 1963, waktu daerah atau
daerah kesatuan waktu dibagi menjadi 3 wilayah yaitu Waktu Indonesia Barat
(WIB), Waktu Indonesia Tengah (WITA), dan Waktu Indonesia Timur (WIT).
a.
Waktu Indonesia Barat (WIB) yang berpedoman pada 105
derjat Bujur Timur (BT) atau GMT + 7 Jam, meliputi:
1.
Seluruh propinsi daerah tingkat I Sumatra.
2.
Seluruh propinsi daerah tingkat I Jawa dan Madura
3.
Propinsi daerah tingkat I Kalimantan Barat
4.
Propinsi daerah tingkat I Kalimantan Tengah
b.
Waktu Indonesia Tengah (WITA) yang berpedoman pada 120
derjat Bujur Timur (BT) atau GMT + 8 Jam, meliputi:
1.
Propinsi daerah tingkat I Kalimantan Timur
2.
Propinsi daerah tingkat I Kalimantan Selatan
3.
Propinsi daerah tingkat I Bali
4.
Propinsi daerah tingkat I Nusa Tenggara Barat
5.
Propinsi daerah tingkat I Nusa Tenggara Timur
6.
Propinsi daerah tingkat I Timor Timur
7.
Propinsi daerah tingkat I sulawesi
c.
Waktu Indonesia Timur (WIT) yang berpedoman pada 135
derjat Bujur Timur (BT) atau GMT + 9 jam, meliputi:
1.
Propinsi daerah tingkat I Maluku
2.
Propinsi daerah tingkat I Irian Jaya.[22]
Dalam perhitungan waktu salat, agar waktu salat sesuai dengan
wilayah yang dimaksud, maka harus ada penyesuaian waktu antara waktu daerah
dengan waktu setempat yang biasanya diistilahkan dengan koreksi waktu daerah
(Kwd) dengan rumus: (λw –λd) : 15.Sebagai contoh, kota Lhokseumawe = (105° -
97° 08ʹ 30,33ʺ) = 7° 51ʹ 29,67ʺ = 7° 51ʹ 29,67ʺ : 15 = 00.31.25,98. Jadi
selisih waktu daerah dengan waktu setempat yaitu 00 jam 31 menit 25,98 detik.
Para ahli falak sepakat bahwa awal waktu salat ditentukan
berdasarkan sudut waktu Matahari dengan gabungan nilai tinggi Matahari. Awal
waktu salat Zuhur ditetapkan pada saat Matahari berkulminasi di titik atas
persis pada meridian langit dan nilai sudut waktu saat itu adalah 0 derajat.
Awal waktu Asar, Magrib dan Isya ditetapkan berdasarkan perhitungan perjalanan
Matahari selepas berkulminasi atas sampai Matahari berada pada titik nadir atau
pertengan malam, untuk ketiga waktu salat ini nilai sudut waktunya positif,
sedangkan untuk awal waktu Subuh dihitung mulai setelah Matahari melewati titik
nadir hingga Matahari kembali ke titik zenith atau berkulminisi kembali,
nilai sudut waktu untuk awal salat Subuh bernilai negatif.[23]
3. Deklinasi Matahari
Deklinasi Matahari adalah nilai
jarak suatu benda langit dari equator
langit yang dihitung berdasarkan panjang lingkaran waktu dengan satuan derajat,
menit dan detik busur, nilai deklinasi biasanya disimbolkan dengan delta (δ). Dengan diketahui nilai deklinasi Matahari,
maka posisi Matahari terhadap Bumi juga bisa ditentukan. Hal ini sangat berguna
untuk mengetahui sejauhmana bayang-bayang yang dicapai oleh sinar Matahari pada
permukaan Bumi yang merupakan data utama dalam proses penentuan waktu salat. Mengetahui patokan waktu
dalam perhitungan waktu salat adalah suatu keharusan, karena salat diwajibkan
dalam waktu tertentu dalam sehari semalam lima waktu. Dengan mengetahui nilai
deklinasi Matahari di suatu daerah, perhitungan awal waktu salat di suatu daerah
akan akurat dan tepat pada waktunya.[24]
Nilai deklinasi Matahari dalam
setahun tidaklah sama, nilainya akan selalu berubah-ubah sesuai dengan
pergeseran dalam gerak semu harian Matahari dari arah Timur ke Barat yang
diakibatkan oleh miringnya ekliptika terhadap equator
langit sebesar 23 derajat 27 menit busur. Nilai deklinasi Matahari sebelah Utara equator diberi tanda positif (+) dan sebelah Selatan equator diberi tanda negatif (-). Nilai deklinasi Matahari 0 derajat pada saat
Matahari persis berada pada garis equator langit yaitu pada tanggal 21 Maret, selanjutnya Matahari akan bergerak
ke arah Utara sampai pada pada titik penghujung Utara yang dikenal dengan titik
balik Utara pada tanggal 21 Juni dengan nilai deklinasi tertinggi +23 derajat
30 menit. Setelah itu Matahari kembali ke garis equator pada tanggal 23 September untuk kemudian bergerak ke Selatan sampai
pada titik penghujung Selatan pada tanggal 22 Desember dengan nilai deklinasi
-23 derajat 30 menit.[25]
Nilai deklinasi
Matahari yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu selama setahun dapat
diketahui pada tabel astronomis, seperti Almanak
Nautika, Ephemiris, atau pada software yang menyajikan data astronomis.
4. Tinggi Matahari
Tinggi Matahari adalah
nilai jarak busur sepanjang lingkaran vertikal dihitung dari ufuq sampai Matahari
berada. Nilai tinggi Matahari bertanda positif (+) apabila posisi Matahari
berada di atas ufuq, dan bila posisi Matahari berada di bawah ufuq, maka nilai tinggi Matahari bertanda negatif (-), dalam ilmu falak
disimbolkan dengan hₒ sebagai singkatan dari hight
of sun.[26]
Menghitung waktu salat pada dasarnya adalah menghitung berapa nilai
ketinggian Matahari saat menempati posisi yang menjadikan penunjuk waktu salat
di permukaan Bumi.Dalam
perhitungan penentuan waktu salat, nilai tinggi Matahari dijadikan patokan
dalam menganalisa keakuratan hasil perhitungan terhadap kenyataan alam yang
merupakan tanda bagi awal atau akhir waktu salat. Selama ini data yang digunakan tidak lah sama, hal ini bisa dilihat
pada proses perhitungan awal waktu salat yang telah penulis sebutkan dalam bab
dua. Bila dianalisa lebih dalam, maka akan berkesimpulan bahwa data yang
digunakan selama ini untuk perhitungan tinggi Matahari semakin berkembang, dimana
pada awal dulu perhitungan tinggi Matahari
tidak dipengaruhi oleh tinggi rendahnya suatu daerah. Di sini penulis
ambil sampel dengan buku yang ditulis oleh Team Tehnis Badan Penelitian dan Pengembangan Hisab dan Rukyah
Provinsi NAD pada tahun 2008.
Pada tahun 2009
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan sebuah buku
berjudul Pedoman Hisab Muhammadiyah, buku ini penulis jadikan sebagai
sampel perkembangan tingkat kedua dalam perhitungan tinggi Matahari untuk awal
waktu salat. Dalam perhitungannya, data ketinggian tempat sudah diperhitungkan,
tetapi masih terbatas pada penentuan awal waktu Magrib saja, sedangkan untuk
waktu salat yang lain belum digunakan. Selanjutnya pada tahun 2013 Kementerian
Agama Republik Indonesia melalui Sub Direktorat Pembinaan Syariah dan Hisab
Rukyat, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, dan Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam mengeluarkan buku berjudul Ilmu Falak
Praktik.Sejauh analisa penulis, buku
ini menempati diri pada posisi perkembangan terkini dalam sejarah perkembangan
perhitungan awal waktu salat di Indonesia.Buku ini jelas menunjuki perkembangan
mutakhir di era sekarang, perhitungan tinggi Matahari untuk awal waktu salat
sudah merespon tinggi rendah suatu daerah untuk perhitungan awal waktu Magrib,
Isya dan Subuh.
Untuk merespon upaya pengembangan ilmu falak, khususnya dalam metode
perhitungan awal waktu salat, penulis mencoba untuk menempatkan penelitian ini
pada tingkat keempat. Penulis menambahkan data kecemerlangan langit dalam
menentukan tinggi Matahari untuk awal waktu Isya dan Subuh, karena menurut
analisa penulis, dua waktu salat ini tidak hanya ketinggian tempat yang harus
diperhatikan, tetapi kecemerlangan langit yang justru lebih penting untuk
dipertimbangkan, mengingat dua salat ini ditentukan berdasarkan bias cahaya
Matahari yang terlihat di suatu daerah.
Tinggi Matahari dalam tiga tingkatan yang terekam dalam bab dua
sekaligus sebagai teori yang berkembang di Indonesia dalam penentuan awal waktu
salat adalah sebagai berikut:
1. Dalam mencari nilai tinggi Matahari menggunakan pendekatan teori
trigonometri bola langit dengan berpedoman kepada tiga titik yaitu deklinasi,
lintang tempat dan benda langit, dalam hal ini belum menganggap penting data
ketinggian tempat dan kecemerlangan langit, sehingga hasil untuk patokan tinggi
Matahari dapat disimpulkan sebagai berikut:[27]
a. Awal masuk waktu Zuhur : 0 derajat
b. Awal masuk waktu Asar :Cotan
ha = tan zm + 1
c. Awal masuk waktu Magrib : -1
atau 91 derajat
d. Awal masuk waktu Isya : -18 atau 108 derajat
e. Awal masuk waktu Subuh : -20
atau 110 derajat.
2. Dalam mencari nilai tinggi Matahari sudah menganggap penting data ketinggian tempat,
tetapi hanya pada mencari nilai tinggi Matahari untuk waktu Magrib, belum
menggunakan data kecemerlangan langit, sehingga hasil untuk patokan tinggi
Matahari dapat disimpulkan sebagai berikut:[28]
a. Awal
masuk waktu Zuhur : 0 derajat
b. Awal masuk waktu Asar
:Cotan ha = tan zm + 1
c. Awal masuk waktu Magrib : Tergantung data ketinggian tempat, tidak
mesti 91 derajat.
d. Awal
masuk waktu Isya : -18 atau 108 derajat
e. Awal
masuk waktu Subuh : -20 atau 110
derajat.
3. Dalam mencari nilai tinggi Matahari sudah menganggap penting data ketinggian tempat,
data ketinggian tempat sudah diperhatikan dalam mencari nilai tinggi Matahari
untuk waktu Magrib, Isya dan Subuh, tetapi belum menggunakan data kecemerlangan
langit, sehingga hasil untuk patokan tinggi Matahari dapat disimpulkan sebagai
berikut:[29]
a. Awal
masuk waktu Zuhur : 0 derajat
b. Awal masuk waktu Asar :Cotan
ha = tan zm + 1
c. Awal masuk waktu Magrib : Tergantung data
ketinggian tempat, tidak mesti 91 atau -1 derajat.
d. Awal masuk waktu Isya : Tergantung data
ketinggian tempat, tidak mesti -18 atau 108 derajat.
e. Awal masuk waktu Subuh : Tergantung data ketinggian tempat, tidak
mesti -20 atau 110 derajat.
Untuk mengetahuicara mencari nilai tinggi Matahari yang adaselama ini,
maka penulis memuat rumus dan contoh penyelesaian sebagai berikut:
1. Untuk awal waktu Zuhur
Untuk awal waktu Zuhur
sebenarnya tidak memerlukan nilai tinggi Matahari, sebab secara langsung data
untuk awal Zuhur cukup mengetahui kapan Matahari berkulminasi, dan saat berkulminasi, tinggi Matahari adalah 0 derajat.
Bila ingin dihitung ketinggian Matahari pada awal waktu Zuhur dapat menggunakan
rumus berikut:
hₒ = 90° - (φ - δₒ)
Contoh tinggi Matahari untuk awal waktu Zuhur tanggal 1 April 2015.
φ =05° 10ʹ 48,36ʺ LU
φₒ = 04° 31ʹ 34ʺ
= 90° - (05° 10ʹ 48,36ʺ
- 04° 31ʹ 34ʺ)
=89° 20ʹ 45,64ʺ
2. Untuk awal waktu Asar
Tinggi Matahari untuk
awal waktu Asar dapat dihitung melalui rumus:
cotan h = tan zᵐ + 1
Contoh tinggi Matahari untuk awal waktu Asar di Lhokseumawe tanggal
29 Desember 2014 M
zᵐ =
(φ – δ)
zᵐ =
(05° 10ʹ 48,36ʺ - (-23° 12ʹ 43ʺ))
=
28° 23ʹ 31,36ʺ
Cotan
h = tan zᵐ + 1
=
tan 28° 23ʹ 31,36ʺ + 1
=
0,540518552 + 1
=
1,540518552
= 1
: 1,540518552 = 0,791614121 shift tan ans
hₒ =
32° 59ʹ 20,02ʺ
3. Untuk awal waktu
Magrib
Tinggi Matahari untuk
awal waktu Magrib dapat dihitung melalui rumus:
hₒ =
-(s.d. + R + Dip)
=
Dip = 1,76ʹ√m
= 1,76ʹ√01
Dip = 00° 01ʹ 45,06ʺ
Tinggi Matahari (h): h = -(s.d. + R + Dip)
= -(00° 16ʹ 14,03ʺ + 34ʹ 30ʺ + 00° 01ʹ 45,06ʺ)
hₒ = -00° 52ʹ 29,09ʺ
4. Untuk awal waktu Isya
Tinggi Matahari untuk awal waktu
Isya dapat dihitung melalui rumus:
hₒ =
-17° + (s.d. + R + Dip)
= -(00° 16ʹ 14,03ʺ + 34ʹ 30ʺ + 00° 01ʹ 45,06ʺ)
= -00° 52ʹ 29,09ʺ
=
-17° + (-00° 52ʹ 29,09ʺ)
=
-17° - 00° 52ʹ 29,09ʺ
=
-17° 52ʹ 29,09ʺ
5. Untuk awal waktu Subuh
Tinggi Matahari untuk awal waktu Subuh dapat dihitung melalui rumus:
hₒ =
-19° + (s.d. + R + Dip)
= -(00° 16ʹ 14,03ʺ + 34ʹ 30ʺ + 00°
01ʹ 45,06ʺ)
= -00° 52ʹ 29,09ʺ
=
-19° + (-00° 52ʹ 29,09ʺ)
=
-19° - 00° 52ʹ 29,09ʺ
=
-19° 52ʹ 29,09ʺ
Setelah melihat metode penentuan tinggi Matahari untuk awal waktu
salat di atas, bisa disimpulkan bahwa tinggi tempat sama fungsinya untuk waktu
salat Magrib, Isya dan Subuh, yaitu untuk menetapkan tinggi Matahari. Sedangkan
kecemerlangan langit lokal tidak dipertimbangkan sama sekali untuk awal waktu
Isya dan Subuh. Untuk menentukan tinggi tempat di permukaan Bumi, bisa dengan
bantuan perangkat lunak google earth. Google earth selain
menghasilkan citra permukaan Bumi, juga menyajikan nilai lintang tempat, bujur
tempat dan ketinggian tempat. Cara kerja google earth, hidupkan software
dan pastikan computer terkoneksi dengan internet, kemudian cari lokasi di
permukaan Bumi yang ingin diketahui nilai lintang, bujur dan ketinggian tempat.
Dekatkan permukaan Bumi dengan menekan pada menu pembesar (+) hingga mudah
dikenali tempat yang dimaksud, lalu letakkan kursot pada titik yang ingin
diketahui nilai lintang, bujur dan ketinggian tempat. Setelah kursot diletakkan
pada tempat yang dimaksut, lalu lihat data pada layar monitor paling bawah,
itulah data nilai lintang, bujur dan ketinggian tempat.
Persoalan
kecemerlangan langit yang penulis usulkan dalam penentuan tinggi Matahari untuk
waktu Isya dan Subuh sebagai data tambahan untuk menentukan waktu salat
memiliki dua alasan:
1. Mengingat waktu salat Isya dan Subuh
ditentukan berdasarkan bias cahaya Matahari yang sangat erat kaitannya dengan
kecemerlangan langit, berbeda dengan waktu Zuhur dan Asar yang ditentukan
berdasarkan bayang-bayang suatu benda yang dihasilkan oleh pantulan sinar
Matahari, sudah barang pasti bayangan Matahari ini tidak dipengaruhi oleh
ketinggian tempat dan kecemerlangan langit. Begitu pula dengan waktu Magrib
yang ditentukan berdasarkan terbenamnya
seluruh piringan Matahari di suatu daerah. Terbenam di sini adalah hilangnya
bulatan Matahari setelah melewati garis horizon mar’i di suatu daerah. Maka, untuk waktu Magrib juga tidak dipengaruhi oleh
kecemerlangan langit suatu daerah tetapi ketinggian tempat sangat
mempengaruhinya karena semakin tinggi daratan maka semakin rendah ufuq mar’i yang menyebabkan Matahari akan lama
terlihat terbenam ketimbang daratan yang lebih rendah.
2. Sudah diakui bersama bahwa
kecemerlangan langit di suatu daerah pasti berbeda dengan daerah yang lain. Kecemerlangan
langit sangat tergantung pada kepadatan partikel dalam atmosfer lokal, seperti
aerosol, polusi cahaya dan ketinggian tempat. Untuk mendeteksi kecemerlangan
langit di suatu daerah dalam mengukur batas awal muncul cahayafajar dan batas akhir hilang cahaya senja
harus melakukan pengamatan langsung dengan mata, atau dengan bantuan kamera,
dan ataudengan bantuan alatSky Quality Meter (SQM).[30]
Setelah melakukan pengamatan, catatan awal muncul cahaya fajar dan waktu akhir
hilang cahaya senja yang telah dicatat dalam bentuk patokan waktu, dirobah
dalam bentuk derajat dengan menggunakan software
stellarium. Software
stellarium yang merupakan perangkat lunak yang bisa
mensimulasikan pergerakan benda-benda langit bisa mendapatkan nilai derajat
busur saat hilangnya cahaya senja atau awal munculnya cahaya fajar. Cara menemukan
nilai tinggi Matahari dalam bentuk derajat dengan stellarium, hidupkan program stellarium, kemudian sesuaikan tanggal dengan waktu
pengamatan, selanjutnya tekan kursot pada Matahari, lihatlah data yang keluar
di samping kiri layar komputer, salah satu data yang ada adalah altitude Matahari atau
ketinggian Matahari. Bila data ini telah ada, maka bisa ditetapkan kapan sebenarnya daerah
itu cahaya fajar muncul untuk waktu salat Subuh, dan
kapan cahaya senja hilang untuk awal waktu Isya. Metode ini sangat penting,
mengingat untuk menentukan awal waktu Isya dan Subuh berangkat dari bias cahaya
Matahari yang dipengaruhi oleh posisi Matahari, berbeda dengan waktu salat
Zuhur, Asar dan Magrib, ia ditentukan langsung berdasarkan posisi Matahari,
tidak ada kaitannya dengan bias cahaya Matahari.
Persoalan kecemerlangan langit dalam
penentuan waktu salat Isya dan Subuh bukanlah hal yang baru. Selama ini
penetapan awal waktu Isya -18 derajat dan awal waktu Subuh -20 derajat di bawah
ufuq
mar’i adalah
sepenuhnya berdasar kecemerlangan langit yang dihasilkan oleh peneliti pada
masa dulu, hanya saja perlu penelitian ulang terhadap kecemerlangan di setiap
daerah, karena mengingat kecemerlangan langit yang dipakai selama ini secara
umum untuk seluruh Indonesia. Untuk kasus Indonesia, bila
disepakati seperti yang disampaikan oleh Susiknan Azhari bahwa ilmu falak di
Indonesia berasal dari Mesir[31]
maka bisa dipastikan bahwa penetapan -18 derajat untuk waktu Isya dan -20
derajat untuk awal waktu Subuh merupakan patokan kecemerlangan langit yang ada
di Mesir, belum sepenuhnya sesuai dengan kondisi kecemerlangan langit yang ada
di Indonesia.
Penetapan kecemerlangan langit untuk
waktu salat Isya dan Subuh berangkat pada kaedah astronomi, ketika Matahari
terbenam di ufuq Barat, permukaan Bumi tidak langsung gelap. Hal ini disebabkan ada
partikel-partikel di angkasa yang membias sinar matahari, sehingga walaupun
sinar Matahari tidak lagi mengenai Bumi, namun masih ada bias cahaya dari
partikel-partikel tersebut yang sedikit menerangi Bumi, cahaya ini dikenal
dengan cahaya senja (twilight). Di saat Matahari terbenam, cahaya senja berwarna kuning kemerah-merahan
yang kemudian berubah menjadi merah kehitam-hitaman dan pada akhirnya kondisi
Bumi akan gelap. Pada saat posisi Matahari berada antara -6
derajat sampai -12 derajat di bawah ufuq, benda-benda di lapangan
terbuka sudah samar-samar batas bentuknya. Pada saat posisi Matahari berada
antara -12 derajat sampai -18 derajat di bawah ufuq, permukaan Bumi
sudah gelap sempurna. Hal ini disebabkan cahaya partikel yang merah
kehitam-hitaman telah hilang. Maka di saat inilah
ditetapkan sebagai awal waktu Isya dengan ketinggian matahari 108 derajat.[32]
Waktu Subuh juga
ditetapkan pada bias cahaya partikel yang disebut cahaya fajar. Hanya saja
cahaya fajar lebih kuat daripada cahaya senja, sehingga pada posisi matahari
-20 derajat di bawah ufuq Timur sudah
didapatkan cahaya fajar yang menjadi patokan awal waktu shubuh.[33]Kedua cahaya ini telah diketahui dan
difahami oleh para pakar ilmu falak, hanya saja dalam kasus penetapan waktu
salat Isya dan Subuh masih mengikuti pada kaedah cahaya fajar dan cahaya senja
yang sangat umum. Bila dilihat lebih dalam tentang penetapan ketinggian
Matahari untuk awal waktu Isya dan Subuh, tidak semua negara menganut kaedah
-18 derajat untuk awal waktu Isya dan -20 derajat untuk awal waktu Subuh.
Untuk lebih
jelas penetapan patokan tinggi Matahari untuk awal waktu Isya dan Subuh yang
dikeluarkan oleh beberapa organisasi dunia bisa dilihat dalam table berikut.
Table 3.
Patokan Tinggi Matahari
untuk Waktu Isya dan Subuh.[34]
Organisasi
|
Tinggi
Matahari untuk awal waktu Isya
|
Tinggi
Matahari untuk awal waktu Subuh
|
Wilayah
|
Universitas
Sains Islam, Karachi
|
18
|
18
|
Pakistan,
Banglades, India, Afganistan, dan sebagian Eropa
|
Masyarakat
Islam Amerika Utara (ISNA)
|
15
|
15
|
Sebagian
Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris Raya
|
Liga
Islam Dunia
|
18
|
17
|
Eropa,
Timur Jauh, dan sebagian Amerika Serikat
|
Ummul
Qura, Mekah
|
19
|
90
menit setelah Magrib, 120 menit selama Ramadhan
|
Jazirah
Arab
|
Organisasi
Survey Umum, Mesir
|
19,5
|
17,5
|
Afrika,
Syria, Irak, Lebanon, Malasia dan sebagian Amerika Serikat
|
Berangkat dari informasi yang ada dalam tabel di atas, maka sudah
sepantasnya bagi wilayah Indonesia dan khususnya daerah Aceh untuk meneliti
ulang dalam penetapan tinggi Matahari untuk awal waktu Isya dan awal waktu
Subuh dengan menggunakan alat yang memadai dan sudah dipercayai untuk mengukur
kecemerlangan langit di suatu daerah agar pelaksanaan salat umat tepat pada
waktu yang telah ditetapkan oleh Alquran dan hadis.
[3]Muhyiddin Khazin, Ilmu
Falak dalam…, hlm. 125.
[4]Muhammad Hadi Bashori,
Pengantar Ilmu Falak: Pedoman Lengkap Tentang Teori dan Praktik Hisab, Arah
Kiblat, Waktu Salat, Awal Bulan Qamariah dan Gerhana, Cet. I, (Jakarta:
Pustaka Al-Kausar, 2015), hlm. 34.
[5]Muhyiddin Khazin, Ilmu
Falak dalam…, hlm. 128-129. Lihat juga, Yusuf Harun, Pengantar Ilmu
Falak, Cet. I, (Banda Aceh: PeNA, 2008), hlm. 35-37.
[6]Muhyiddin Khazin, Ilmu
Falak dalam…, hlm. 129.
[7]Muhyiddin Khazin, Ilmu
Falak dalam…, hlm. 130.
[8]A.Jamil, Ilmu
Falak: Teori dan Aplikasi…, hlm. 55-64.
[10]Lutfi Adnan Muzamil, Studi
Falak dan Trigonometri: Cara Cepat dan Praktis Memahami Trigonometri dalam Ilmu
Falak, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group, 2015), hlm. 42-45
[11]A.Jamil, Ilmu
Falak: Teori dan Aplikasi…, hlm. 56
[13]M. Yusuf Harun, Pengantar
Ilmu Falak, hlm. 58.
[14]A.Jamil, Ilmu
Falak: Teori dan Aplikasi…, hlm. 9. Lihat juga, Muhyiddin Khazin, Ilmu
Falak dalam Teori dan Praktik…, hlm 39-40.
[15]Susiknan Azhari, Ensiklopedia
Hisab Rukyat…, hlm. 47. Lihat juga, A.Jamil, Ilmu Falak: Teori dan
Aplikasi…, hlm. 10.
[16]Muh. Ma’rufin Sudibyo,
Sang Nabi Pun Berputar: Arah Kiblat dan Tata Cara Pengukurannya, Cet. I,
(Solo: Tinta Meduna, 2011), hlm. 101-102.
[17]Muh. Ma’rufin Sudibyo,
Sang Nabi Pun Berputar…, hlm. 135.
[18]Selengkapnya lihat.
Syamsul Anwar, Diskusi dan Korespondensi Kalender Hijrah Global, Cet. I,
(Yokyakarta: Suara Muhammadiyah, 2014), hlm. 9-38.
[19]Muchtar Yusuf, Ilmu
Hisab dan Rukyah,Cet. I, (Banda Aceh: Al-wasliyah University Press, 2010),
hlm. 27.
[21]Abdul Karim dan M.Rifa
Jamaluddin Nasir, Mengenal Ilmu Falak: Teori dan Implimentasi,Cet. I,
(Yogyakarta: Qudsi Media, 2012), hlm. 1. Lihat juga, Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak
dalam Teori dan Praktik…, hlm 81. Lihat juga, M.Yusuf Harun, Pengantar
Ilmu Falak…, hlm. 8-9.
[23]A.Kadir, Formula
Baru Ilmu…, hlm. 96.
[24]Encup Supriatna, Hisab
Rukyat dan Aplikasinya, cet. I, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm.
21-22. Lihat juga, M.Yusuf Harun, Pengantar Ilmu Falak…, hlm. 9-10.
[25]A.Jamil, Ilmu
Falak: Teori dan Aplikasi…, hlm. 15-16.
[27]Lihat buku, Team
Tehnis Badan Penelitian dan Pengembangan Hisab dan Rukyah Provinsi NAD, Panduan
Hisab Rukyat dan Penentuan Arah Qiblat, (BHR-NAD, 2008), hlm. 31-47.
[28]Lihat buku, Majelis
Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah,
Cet. II, (Yokyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
2009), hlm. 43-61.
[29]Kementerian agama RI, Ilmu
Falak Praktik, Cet. I, (Jakarta: Sub. Direktorat Pembina Syariah dan Hisab
Rukyat, Direktorat Urusan Agama Islam & Pembina Syariah, Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2013), hlm. 86-93.
[30]Dhani
Herdiwijaya, Aplikasi waktu subuh dan Isya (twilight), Imah Nong,
Lembang 30 Agustus 2014.
[31]Lihat. Susiknan Azhari, Ilmu Falak: Perjumpaan…,
hlm. 70.
[34]Susiknan Azhari, Ilmu
Falak: Perjumpaan…, hlm. 68. Lihat juga. Tono Saksono, Mengungkap
Rahasia Simponi…, hlm. 102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar